Oleh: Ulil/Hus
Bulan ini menjadi bulan bersejarah dalam kehidupan politik di Indonesia. Rezim yang terlampau lama berkuasa, akhirnya tumbang juga oleh kekuatan rakyat yang bersatu. Pada hari ini, 22 tahun yang lalu, Presiden Soeharto turun dari takhtanya setelah sekian lama mengabdi pada negeri ini.
Orde baru merupakan sejarah panjang bagi bangsa Indonesia. Masa dimana digencarkan pembangunan dan penguatan ekonomi. Program yang dijalankan pun terlihat menyejahterakan rakyat. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan program swasembada beras merupakan pencapaian yang ‘baik’ dari rezim ini. Masyarakat kala itu pun terlihat tenang dan sejahtera. Pola pikir masyarakat banyak yang berubah setelah diberi ‘edukasi’ oleh pemerintah. Sampai-sampai, terdengar adagium “piye kabare, penak jamanku toh”.
Dibalik itu semua, masih banyak fakta yang belum terungkap dari masa tersebut. Ketakutan-ketakutan menyelimuti kehidupan masyarakat kala itu. Segala tindakan yang dianggap mengancam stabilitas nasional akan ‘dikondisikan’. Atas nama nasionalisme, indoktrinasi terus digencarkan untuk menangkal paham yang dianggap tidak sesuai dengan ‘jati diri’ bangsa. Ruang publik semakin dibatasi dan diawasi oleh pihak yang mendapat wewenang. Informasi yang beredar di masyarakat diolah sedemikian rupa untuk mempertahankan kondisi yang ‘ideal’.
Masyarakat yang kian dikebiri, lambat laun menjadi jengah. Kesadaran akan kehidupan yang lebih baik mulai tumbuh dalam diri mereka. Pemuda mahasiswa sebagai intelektual tentunya sadar akan bahayanya situasi ini bila dibiarkan. Maka, terciptalah kolektif-kolektif sebagai ruang ekspresi. Gerakan ini banyak dimotori oleh mahasiswa dan dibantu oleh rakyat. Semangat juang mereka tentunya didasari atas hati nurani. Tujuannya untuk kehidupan yang lebih baik.
Maka, di bulan Mei 1998 terjadi aksi massa yang begitu besar. Massa mampu menduduki berbagai gedung pemerintahan. Mereka menuntut lengsernya rezim yang sudah korup dan otoriter. Bersamaan dengan momen ini, terjadi krisis moneter yang membuat rakyat semakin naik pitam. Penjarahan, penembakan, dan penculikan terjadi dimana-mana. Pada akhirnya, rezim ini pun tumbang oleh kekuatan rakyat yang solid. Peristiwa ini biasa kita kenang sebagai Reformasi.
Semangat juang ini tentunya akan selalu dikenang. Banyak pejuang yang gugur dan lenyap dilumat sejarah. Akan lebih elok jika kita meneruskan perjuangan mereka yang nyatanya di masa sekarang lebih sulit. Semangat perubahan untuk hidup yang lebih baik semakin sulit terwujud pasca reformasi.
Sekarang, situasinya tentu berbeda dibandingkan 22 tahun yang lalu. Kehidupan semakin dinamis dan tidak menentu mengharuskan kita berusaha lebih untuk bertahan hidup. Angin segar reformasi masih bisa kita rasakan meski tidak seberapa. Tentunya masih banyak hal yang mencederai semangat reformasi. Ruang publik belum sepenuhnya menjadi hak rakyat. Pelanggaran HAM masih terus terjadi. Arus informasi yang sangat cepat menjadikan ketidakpastian akan kebenaran informasi itu sendiri. Kebijakan pemerintah yang dinilai tidak ada keberpihakannya terhadap rakyat. Tahun lalu, ramai tagar #Reformasidikorupsi, sebagai mosi tidak percaya rakyat terhadap pemerintah.
Sungguh ironis, ketika perjuangan reformasi justru tidak diteruskan di masa selanjutnya. Tantangan hidup yang lebih baik nampaknya sekadar dongeng pengantar tidur. Jika terus dibiarkan, akankah sejarah terulang kembali sebagai komedi.
Momentum ini tentunya bukan sebagai euforia belaka. Namun, dijadikan bahan muhasabah sejauh mana kita meneruskan semangat juang reformasi. Tatanan hidup yang lebih baik tak akan jadi utopis, jika kita bersatu singkirkan kepala batu. Selama hayat masih dikandung badan, semangat reformasi akan selalu melekat dalam sanubari.