Oleh: Denis Agita Meliana, Fapet Unsoed 2017
“PERSPEKTIF KESEHATAN MASYARAKAT”
- Manajemen Kebijakan Publik Kesehatan Masyarakat
Dasar Fundamental Kebijakan: Paradigma Sakit menuju Paradigma Sehat. Pada intinya adalah Paradigma Sehat.
Paradigma Sehat: Kesehatan itu aset penting yang harus dijaga dan diperlukan manajemen individual yang baik dalam kontruksi kesehatan diri. Jangan berobat karena sudah sakit, tapi mencegah lebih baik dari pada mengobati, sederhanya gitu.
Upaya Fundamental Kebijakan: Promotif (edukatif) dan Preventif (pencegahan/proteksi)
Contoh Upaya Perlindungan sebagai implementasi paradigma sehat yakni BPJS yang kompleks menaungi problematika kesehatan masyarakat Indonesia dalam bentuk asuransi (gak perlu bahas banyak yah, kalo dibilang BPJS sudah efektif atau belum? Tentu belum, setiap sistem pasti perlu evaluasi, pembahasan detail mungkin bisa di lain waktu hehe)
- Realita Implementasi Masyarakat dalam Perspektif Paradigma Sehat di Indonesia
Realita Implementasi masyarakat dalam perspektif Paradigma Sehat di Indonesia masih belum efektif, kesadaran masyarakat yang belum optimal menjadikan masyarakat Indonesia masih tergolong kategori ‘Paradigma Sakit’ karena minimnya upaya preventif dan proteksi pada diri sendiri sehingga kesehatan amat terasa penting ketika gejala atau penyakit itu tiba. Tapi tetap perlu digaris bawahi bahwa Indonesia tetap memiliki semangat ‘Paradigma Sehat’ dalam makro kebijakan yang diambil dan dijalankannya.
Kebijakan Publik Juga Berkorelasi pada Realitas Paradigma Sakit yang berkembang, domain Askes-ible beberapa produk yang tidak baik bagi kesehatan masih memberikan jejak terbentuknya Paradigma Sakit.
- Manajemen Kebijakan Publik saat Coronavirus Terjadi
Pemerintah Dinilai Terlambat dalam Setting Pencegahan Covid-19 di Indonesia, bahasa kasarnya, banyak beberapa regulasi yang dinilai bikin capek masyarakat. Baik dalam ranah ide maupun implementasinya. Kebijakan publik tersekan berangkat dari pressure (tekanan) publik. Seharusnya, apabila setting-nya rapih dan sigap, angka kasus Covid-19 bisa minim atau rendah (Indonesia tergolong tinggi se-Asia Tenggara).
- Pembelajaran Indonesia dalam Pandemi Covid 19
Indonesia Harus Belajar dari Celah, salah satunya bisa mengikuti beberapa treatment yang telah dilakukan dan dinilai ampuh di beberapa negara yang menerapkannya seperti Korea Selatan dan negara lainnya, yakni tes massal. Mengingat dalam banyak kasus sering ditemukan asimtomatik, yaitu suatu penyakit yang sudah positif diderita oleh seseorang, tetapi tidak memberikan gejala klinis apapun. Indonesia juga harus concern pada infrastruktur kesehatan, mengingat dalam menghadapi kompleksitas masalah Kesehatan (apalagi dalam hal ini sifatnya pandemi) maka intrumen dan Infrastruktur kesehatan menjadi hal yang wajib diperhatikan dalam penanggulangan Covid-19.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun ruang-ruang isolasi atau karantina bagi pasien, mengingat isolasi mandiri di rumah saja dinilai belum optimal jika dibandingkan dengan isolasi atau karantina dalam ruangan yang disertai pengawasan serius. Tentunya hal tersebut tetap dalam semangat dan dalam rangka meminimalisir penyebaran Covid-19.
- Minimalisir Kebijakan yang Blunder dan Mengandung Konflik Kepentingan
Dalam hal ini, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap membuat kebijakan yang sifatnya fenomenal serta blunder dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. DPR-RI yang masih serius membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja merupakan salah satu contoh betapa pemerintah belum 100% serius dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, ditambah regulasi konflik kepentingan dalam tubuh politik, misal dalam deratan Staffsus Milenial Presiden yang viral belakangan ini, dan masih banyak lagi. Minimnya komplemenitas antar lembaga negara dalam penanganan Covid-19 terbukti dari cukup sedikitnya elemen yang belum berupaya optimal dalam upaya preventif saat pandemi Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia.
- Keterbukaan Data dan Informasi Publik
Keterbukaan data dalam kasus Covid-19 dinilai minim sekali keterbukaan publiknya, hal inilah yang secara inheren mengkonfirmasi bahwa pemerintah sedang menutupi data yang sebenarnya terjadi, hal ini dikuatkan melalui Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang kerap kontra maupun kritis terhadap pemerintah baik dalam kuantitas (data) maupun kualitatif penanganan Covid-19 di Indonesia.
FKM UI melalui penelitiannya mengkonfimasi bahwa Coronavirus sudah masuk ke Indonesia (sejak Januari 2020) sebelum pengumuman resmi bahwa Coronavirus sudah masuk Indonesia, tetapi respon pemerintah melalui Gugus Tugas Nasional ialah, “Kenapa Baru Bilang?”. Tidak hanya itu, Harvard University melalui risetnya dalam memprediksi masuknya virus Corona ke Indonesia pun sedemikian rupa ditepis oleh pemerintah.
- Social Safety Net (Jaringan Pengaman Sosial)
Indonesia harus benar-benar serius dalam pencegahan dan penanganan Covid-19, khususnya agar episentrum Covid-19 tidak meluas ke beberapa wilayah besar di Indonesia. Indonesia harus preventif dan tegas dalam manajemen mobilitas publik, mulai menerapkan pola bantuan sosial ekonomi yang edukatif (dalam hal ini pemberdayaan masyarakat) yakni dapat berupa edukasi berkebun mandiri untuk mencegah krisis pangan di Indonesia dalam jangka panjang.
Dalam perspektif dasar social safety net ialah jangan sampai pandemi ini menjadi bola panas yang pada akhirnya kembali lagi pada masyarakat, Indonesia harus mengoptimalkan kebijakan jaringan pengaman sosial yang telah dijalankan serta terus mengupayakan social will maupun political will melalui pendekatan humanisme.
“PERSPEKTIF POLITIK”
- Manajemen Kebijakan Publik dalam Sudut Pandang Politik
Manajemen Kebijakan Publik dalam Perspektif Politik ialah apa yang ingin ditempuh dan apa yang tidak ingin ditempuh oleh seorang pemimpin dalam hal ini inline pada ideologi pemimpin itu sendiri (gaya kepemimpinan).
- Populisme dan Kebijakan Publik
Indonesia melalui rezim hari ini sangat kental dalam gaya kepemimpinan populisme. Populisme adalah sejumlah pendekatan politik yang dengan sengaja menyebut kepentingan “rakyat” yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut “elit”. Gaya kepemimpinan populisme juga dikonsumsi oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, India, dan lain-lain. Populisme juga kerap mengkultuskan isu ekonomi dalam banyak aspek demi menjaga legacy standing ekonominya.
Political Will dalam Populisme: Kental dengan pola manajemen opini publik, produk kebijakan yang dihasilkan kerap anti demokrasi, dan cenderung memanfaatkan momentum dalam proses kebijakan publiknya. Selain itu, populisme koheren dengan mengecilkan ancaman melalui pendekatan anti-science (non-ilmiah), misal respon pemerintah tentang nasi kucing, obat jamu, dan lain-lain pada kasus Covid-19. Populisme tidak inline dengan kesehatan masyarakat yang dialektikanya menggunakan pendekatan ilmiah atau science.
- Pasca Pandemi Covid-19
– Banyak bejalar dari apa yang telah ditempuh selama penanganan Covid-19 yang sifatnya evaluatif.
– Memperbaiki sistem kesehatan dan infrastruktur kesehatan termasuk instrumen kesehatannya dalam skala besar.
– Fokus pada isu hak dasar, seperti isu kesehatan, lingkungan, pangan, dan lainnya dalam mikro dan makro kebijakan termasuk pembangunan instrumentasinya.
- Problematika dan Pembelajaran yang harus dipetik
Problematika: Kesehatan (infrastruktur kesehatan), Ekonomi (ketenagakerjaan, PHK massal, relokasi anggaran, dll), Sosial (recovery mobilitas sosiologis masyarakat), Lingkungan (krisis iklim), Agriculture (infrakstruktur, SDM, dan pangan), Pendidikan (manajemen pembelajaran skala makro, dinamisasi Pendidikan multi-sektor), dan lain-lain.
Pembelajaran:
Solusi:
- Membangun gerakan kolektif dalam menyikapi pencegahan dan penanggulangan Covid-19 yang konstruktif serta memiliki narasi kebaikan/kebermanfaatan.
- Intens membangun dan menjalin kordinasi struktural secara vertikal maupun horizontal. Misal pada tingkatan RT/RW dalam semangat gotong royong menyudahi Covid-19 di Indonesia.
- Aktif dalam segala bentuk humanisme action (gerakan kemanusiaan).
- Membangun gerakan solidaritas #RakyatBantuRakyat.
Terimakasih sudah bersedia membaca dan belajar bersama.
Purwokerto, 3 Mei 2020
REFERENSI
Analisis dari Diskusi Manik Marganamahendra (Ketua BEM UI 2019, Mahasiswa FKM UI 2015) dengan S. Mujab (Ketua BEM UI 2017, Alumni FISIP UI 2013)