Selain Jogja, ada kota yang bisa saya sebut dengan kata ‘Istimewa’, ya kota istimewa tersebut adalah Purwokerto. Kota ini telah menjadi sebuah tempat tinggal sementara bagi saya yang merupakan Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Sudah 3,5 tahun saya beradu nasib di sini, berbagai hal dari yang baik hingga yang membuat muak sudah saya rasakan. Akan tetapi warna-warni kota ini membuatnya layak disebut ‘istimewa’.
Membuat Menarik
Sudah sewajarnya, sebagai kota yang ramai akan mahasiswa pastinya roda ekonomi di kota ini akan terus berputar. Harga makanan yang relatif murah hingga harga kos-kosan tidak setinggi yang saya bayangkan pada awal masuk kuliah. Untuk harga kosan dengann ukuran 3×3 meter dengan kamar mandi luar cukup dibanderol dengan harga 2,5 juta/tahun include dengan wifi, air, dan listrik, cukup menggiurkan bukan?. Hal yang sama juga saya temukan di sini, kosan ukuran 3×3 meter dengan kamar mandi dalam dibanderol dengan harga 3 juta/tahun. Selain kosan, makanan juga termasuk murah, untuk 1 porsi nasi rames dengan lauk telur dadar dan nasi unlimited didapat dengan harga 8000 rupiah saja. Dengan begitu, 1 juta rupiah/ bulan sudah cukup untuk berkelana di kota ‘istimewa’ ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwasannya terdapat juga harga makanan maupun kosan yang mahal. Semuanya balik lagi ke kita, tergantung memilih gaya hidup yang hedon atau biasa saja.
Sebagai Mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) yang notabenenya jarang ada waktu untuk libur karena kesibukan akademik juga praktikum di hari weekend pastinya membutuhkan tempat untuk berwisata atau kalau anak sekarang nyebutnya healing. Tak kalah dengan Jogja, Purwokerto memiliki banyak tempat wisata untuk sekedar menenangkan pikiran atau berkeluh kesah. Caub, satu nama yang terlintas ketika saya menulis artikel ini. Dengan jarak tempuh 30-45 menit dari Alun-Alun Purwokerto, Caub menjadi tempat wisata yang mudah untuk diakses. Dengan konsep tempat camping dan kuliner, Caub dapat menjadi pilihan ketika berlibur di Purwokerto. View yang ditawarkan tempat ini juga tidak kalah menarik, ketika pagi hari akan disuguhkan kejelasan Gunung Slamet yang membumbung tinggi dan pada malam hari akan diperlihatkan city light Purwokerto. Bagi teman-teman yang membaca tulisan saya ini dan ingin mencari tempat wisata di Purwokerto yang dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat dan akses yang mudah, Caub bisa menjadi salah satu list. Tidak hanya Caub saja wisata yang terdapat di Purwokerto, banyak tempat lain juga yang bagus dan tidak dapat dianggap remeh. Air terjun, atau orang di sini menyebutnya ‘curug’. Curug Telu, air terjun yang ada di bawah Caub bisa menjadi pilihan sebelum menikmati kuliner di Caub. Dilansir dari Djavatoday.com harga tiket masuk Curug Telu sebesar 7 ribu rupiah, kemudian ditambah dengan biaya parkir yang hanya 2 ribu rupiah sudah bisa menikmati 3 curug sekaligus. Namun, terdapat hal yang membuat saya kurang sreg dengan curug ini, untuk trekking atau jalan menuju lokasi dari tempat parkir membutuhkan jarak 500 meter dan harus jalan kaki. Akan tetapi, setelah melewati hal tersebut, lelah yang didapat terbayarkan dengan keindahan tempat ini.
Membuat Muak
Setelah dapat hal menarik tentang kota ini, ternyata ada hal yang membuat saya kurang menyukai kota ini. Sekedar hanya untuk mengambil uang cash di ATM mengharuskan saya membayar biaya parkir seribu rupiah, padahal ketika mengambil uang di ATM pasti dengan pecahan yang besar. Mungkin ketika kalian membaca bagian ini pasti akan mengatakan saya pelit, “apa sih cuman seribu doang, masa engga ikhlas”. Baik, saya dapat menerima itu, saya akan ikhlas membayar dengan uang seribu itu ketika tukang parkir bekerja sesuai jobdesknya, misal mengeluarkan motor ketika terhimpit dengan barisan motor lain dan menyeberangkan. Mungkin ada beberapa yang seperti itu, namun kebanyakan di sini mereka datang ketika pengunjung akan pergi meninggalkan tempat dan hanya meminta uang imbalan ketika parkir di tempat tersebut.
Selain tukang parkir, ramainya jalan sekitar Grendeng dan Karangwangkal ketika pagi dan sore hari membuat saya cukup gusar. Hal tersebut wajar terjadi di Purwokerto, karena banyak Mahasiswa Unsoed yang berangkat ataupun pulang kuliah. Sebagai warga pendatang yang sudah cukup lama di Purwokerto, saya sudah memiliki jalan tikus untuk menuju kampus. Tentu, hal ini dapat mempersingkat waktu dan menghindari telat ketika akan kuliah. Apalagi, sering juga mobil parkir liar di pinggir jalan, selain melanggar peraturan, parkir liar ini akan menambah macet jalan yang sudah macet, karena banyaknya pengendara yang melintas. Walaupun hanya parkir sebentar, hal ini tidak dapat dibenarkan karena dengan mengambil setengah ruas jalan akan menyebabkan kemacetan yang panjang.
Kesimpulan
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan tempat eksotis sebagai dopamin ketika lelah dengan kegiatan kemahasiswaan, serta masyarakat sekitar yang membuat saya nyaman tinggal di sini dapat membuat segala muak terhadap tukang parkir dapat sedikit terobati. Selama bertahun-tahun tinggal di Purwokerto, saya tidak hanya belajar tentang akademik, tetapi juga tentang kehidupan. Kota ini telah menjadi saksi bisu pertumbuhan saya sebagai individu. Dari seorang siswa yang baru pertama kali merantau, saya belajar untuk mandiri, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan membangun hubungan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Purwokerto, dengan segala dinamikanya tetap ‘istimewa’.
Penulis: Ardian/Hus
Editor: Ardian/Hus