Sastra

Langit Tanpa Layangan

Penulis: Aditya Rendy Sanjaya

Tak ada kabar, tak ada pesan. Alena hilang begitu saja bak ditelan bumi.

Hari-hari aku lewati dengan menatap layar ponsel yang kosong. Sedikit berharap bahwa akan ada pesan darinya, satu notifikasi yang mungkin bisa jelasin kenapa dia menghilang gitu aja. Sudah satu minggu sejak terakhir aku melihatnya—hari itu kita makan siang seperti biasa, cerita tentang kampus, praktikum, tugas, dan banyak hal yang kita temuin. Setelahnya Alena pergi gitu aja. Angin yang tadinya berhembus kencang, tiba-tiba berhenti berhembus.

Biasanya akan selalu ada angin yang membawaku kemanapun dia suka. Tapi sekarang anginnya lenyap, meninggalkan layangan terombang-ambing di langit kelabu.

Hari kesepuluh, aku mencoba memaksakan diri menghubungi Alena lewat pesan. “Hey, sibuk banget ya?” pesan itu terkirim, tapi sepertinya tak pernah sampai. Teman-temanku pun tak bisa memberikan jawaban pasti. Satu-satunya jawaban yang kudapatkan hanya keheningan.

Setiap malam aku mencoba mengingat segala hal tentangnya. Senyumnya yang manis, candaanya yang lucu. Segala hal terus berkecamuk dalam pikiranku, adakah hal yang aku lewatkan? Aku terus mencoba membolak-balikkan memori tentangnya seperti lembaran buku, mencari hal-hal tersembunyi yang mungkin ada di selipan halaman-halaman.

Tapi tidak ada. Hanya ada aku, dan sebuah keheningan yang semakin menggema di pikiranku. Layangan tanpa angin, terombang-ambing di angkasa yang luas.

Sudah hampir satu bulan, dan masih dengan tak ada kabar. Tugas kuliahku bahkan sudah enggan kulihat, hanya layar ponsel dengan notifikasi dari Alena yang selalu kutunggu. “Bro, lu kenapa bengong aja deh?” tanya temanku yang sedari tadi mengobrol namun aku acuhkan. “Lu masih nunggu notif Alena? Gila juga gua liat-liat, move on bro, its been a month!”, aku menganggukkan kepala dengan senyum memelas. “I wish i can move on that easy bro”.

Aku kira akan ada sebuah jawaban dari teman-temanku, yang mungkin dapat mengakhiri teka-teki misteri Alena. Kami berdua sama-sama tahu, jawabannya hanya ada di Alena, dan dia entah ada dimana.

Hari-hari berlanjut begitu saja, aku mulai kehilangan diriku sendiri. Tersesat di dalam kenangan, melangkah majupun terasa enggan karena terikat dengan harapan yang tak lagi nyata. Tanpa Alena rasanya seperti aku tak punya tujuan, tak tahu arah. Lagi-lagi seperti layangan yang terbang tanpa tujuan.

Aku memutuskan untuk berhenti mencari. Bukan tak peduli, mungkin lebih karena tersadar bahwa ini kenyataan yang harus aku hadapi. Alena hanya sekedar angin yang datang lalu lewat begitu saja. Aku terlalu bergantung pada Alena. Dia memang angin yang membawaku terbang tapi angin itu bukan milikku. Dia bebas, tak terikat oleh apapun, dan aku harusnya sadar untuk tidak bergantung pada sesuatu yang bahkan tak bisa kugenggam.

Setelah sekian lamanya Alena menghilang, aku berdiri di atap gedung, menatap langit senja. Langit itu mirip dengaku—kosong, tapi tenang. Aku menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya setelah waktu yang panjang, aku merasa ringan. Aku sekarang mengerti layangan masih bisa terbang tanpa angin yang membawanya.

Perlahan tapi pasti, aku memantapkan langkahku. Kembali ke rutinitasku, belajar, dan bercengkrama dengan teman-teman. Aku masih merindukan Alena, namun rasa itu kini tidak lagi menyesakkan. Berdamai dengan kenyataan bahwa beberapa orang datang untuk memberikan pelajajran, bukan untuk terus bersama.

Aku adalah layangan, dan aku bisa terbang sendiri. Aku tidak butuh lagi angin untuk menentukan jalanku.

Dan mungkin, suatu hari nanti, aku dapat bertemu angin lain. Tapi ketika saat itu tiba, aku tak akan terbang hanya karena angin itu. Aku akan terbang karena aku ingin terbang. Karena langit itu cukup luas untuk layangan yang bebas.

Leave a Reply

Your email address will not be published.