Oleh : Olivia/Hus
Kemerdekaan perempuan di Indonesia bukan hanya digerakkan oleh Kartini. Negara ini memiliki banyak sosok tangguh yang berani memberantas kebodohan dan diskriminasi pada perempuan. Salah satu perintis diskriminasi tersebut adalah Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan. Pengabdiannya di bidang pendidikan Islam bagi perempuan dimulai setelah sang suami, Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912.
Siti Walidah lahir pada tahun 1872 di Kauman, Yogyakarta. Ia merupakan anak keempat dari Kyai Haji Fadil, seorang penghulu resmi Keraton dengan Nyai Mas sebagai saudagar batik di Kauman. Hidup di tengah keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan, menjadi alasan beliau haus akan ilmu.

Kentalnya tradisi dipingit pada masa itu, menyebabkan gerak pergaulan Siti Walidah terbatasi. Akibatnya ia tidak sempat menempuh pendidikan formal. Kecuali mengenyam pengajaran agama dari sang ayah. Tidak hanya itu, ia juga kerap membantu orangtuanya mengajar para santri di langgar dekat rumahnya dan belajar tentang berorasi di depan publik.
Tepat di usia yang ke 17, pada tahun 1889, Siti Walidah dinikahkan dengan saudara sepupunya bernama Muhammad Darwis atau K. H. Ahmad Dahlan. Setelah pernikahan tersebut, Siti Walidah dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan.
Ide-ide luar biasa yang tercetak dari Nyai Ahmad Dahlan merupakan hasil kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan pemimpin bangsa. Tokoh yang dimaksud diantaranya yaitu Jenderal Soedirman, Bung Tomo, Bung Karno, K. H. Mas Mansyur.
Nyai Ahmad Dahlan tidak pernah merasa rendah diri, ia justru kerap menyampaikan nasihat yang berharga di beberapa kesempatan. Pada tahun 1912, sambil suaminya membangun Muhammadiyah, ia membuat perkumpulan kegiatan pengajian dan berorganisasi untuk perempuan di Kauman, Karangkajen, dan Pakualaman, yang mana anggotanya mencakup anak-anak, remaja, dan lanjut usia.
Seiring bekembangnya perkumpulan masyarakat yang berkeinginan belajar, maka dibuatlah nama Sopo Tresno pada tahun 1914. Kelompok Sopo Tresno tersebut merupakan cikal bakal Aisyiyah, organisasi islam bagi perempuan di Kauman pada tahun 1917. Nama “Aisyiyah” tersebut diambil dari nama istri Nabi Muhammad, yaitu Aisyah.
Organisasi Aisyiyah diketuai oleh Nyai Ahmad Dahlan dan pada tahun 1922, organisasi tersebut resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah. Dilansir dari merdeka.com, wujud nyata Siti Walidah untuk masyarakat diantaranya dengan membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri, mengadakan kursus pelajaran Islam serta pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Pun ia mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan.

Setelah K. H. Ahmad Dahlan wafat pada tahun 1923, ia menjalankan pesan untuk mengembangkan Muhammadiyah dan Aisyiyah. Hanya saja pada tahun 1943, Organisasi Aisyiyah dikecam oleh Pemerintahan Jepang karena tidak boleh berdiri sendiri sebagai organisasi pergerakan wanita.
Hal yang menimpa pada Aisyiyah, bukanlah akhir dari segalanya. Senjanya usia Siti Walidah, tidak menyorotkan semangatnya. Ia berpesan kepada anak didiknya untuk tetap berjuang dan membantu para pejuang melalui penyelenggaran dapur umum, pemeliharaan kesehatan, dan pengobatan bagi yang sakit.
Ika Setia Wati, dalam Peran Siti Walidah di Bidang Pendidikan dan Sosial Dalam Perkembangan Aisyiyah Tahun 1917-1946, menyatakan bahwa Nyai Ahmad Dahlan merupakan bagian dari pergerakan organisasi yang berperan melakukan pembaharuan dan perjuangan.
Menginjak di usia 74 tahun, Nyai Ahmad Dahlan wafat tepat pada 31 Mei 1946 karena sakit yang telah dideritanya sejak lama. Atas jasanya dalam menyebarluaskan Agama Islam dan mendidik perempuan, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nyai Hj. Ahmad Dahlan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.042/TK/1971.
Sumber :
merdeka.com, swararahima.com
Wati, I. S. 2017. Peran Siti Walidah di Bidang Pendidikan dan Sosial Dalam Perkembangan Aisyiyah Tahun 1917-1946. Jurnal Swarnadwipa. 1 (2) : 101-110
Editor : Abhi/Hus