Sastra

Bintang

Oleh: Nova Karimatun Nabilah

Ini tentang bintang. Ya, benda langit yang memancarkan cahaya ketika malam tiba. Namun, ini bukan tentang bagaimana bintang terbentuk.

Aku yakin, pasti ada orang yang sama denganku, menyukai langit malam untuk mencari benda bernama bintang. Entah itu karena keindahannya atau mungkin ada rasa yang tak bisa dijelaskan ketika menatap bintang-bintang di langit.

Malam ini aku kembali menatap langit yang kali ini dipenuhi dengan banyak sekali bintang. Seketika aku teringat kemarin malam.

Aku langsung berbicara pada mereka, “Bintang, seperti malam-malam sebelumnya kalian selalu indah, begitupun hari ini. Tapi, kenapa kemarin malam tidak ada yang muncul satu pun dari kalian?”

Tak lama, bintang-bintang itu menjawab, “Terima kasih, kau dan senyum hangatmu itu selalu membuat kami juga menghangat. Namun, ada awan mendung menutupi kami kemarin malam. Tapi apa yang menjadi keresahanmu? Bahkan, ada ataupun tidaknya kami tak mengubah gelap malam menjadi terangnya siang hari. Malam tetap menjadi malam, ada atau tiadanya kami.”

Aku cukup terkejut karena rupanya bintang mendengarku selama ini. “Namun, tahu kah kau bintang? cahayamu memang tak secerah matahari ataupun bulan. Tapi, mengapa aku tetap menyukaimu? karena biarpun dengan cahaya kecil, namun kalian tetap bersinar di gelapnya malam. Cahaya kalian tak mengubah malam menjadi siang, tapi cahaya kalian menghiasi malam jiwa-jiwa yang sunyi, itu lebih berarti.”

Sama seperti aku yang selalu bahagia ketika melihatmu, aku juga ingin melihat dia tersenyum karena hal itu. Dan kemarin adalah waktu yang tepat, tapi sayang kalian tidak hadir dalam waktu yang tepat itu,” lanjutku dengan suara rendah diakhir kata, karena masih ada rasa kecewa kemarin malam.

Jadilah bintangnya, karena bintang yang sesungguhnya adalah dirimu sendiri. Kami tak selalu ada setiap malam apalagi ketika awan mendung datang, namun kaulah bintang yang akan selalu ada di sampingnya. Bahkan, jika ada bintang yang cahayanya lebih bersinar dari Sirius, itu kamu.”

Langit seketika berubah menjadi gelap. Bintang-bintang yang aku lihat sebelumnya sekarang sudah tak tahu entah kemana, hanya tersisa langit malam yang gelap dengan sedikit suara gemuruh.

“Sudah bangun?,” tanya dia yang ternyata berada di sebelahku.

“A-Aku tertidur tadi?,” tanyaku masih belum sepenuhnya yakin dengan apa yang baru saja terjadi.

Dia mengangguk sambil tersenyum, “Kamu tertidur setelah kamu bilang ingin menunggu ada bintang yang muncul.”

“Kenapa kamu ngga bangunin aku aja?,” ucapku sambil memukul lengannya.

“Aku pikir ada yang lebih indah dari melihat bintang di langit,” ucapnya terdengar menggantung membuatku cukup penasaran.

“Apa itu? bulan? tapi bulan juga tidak ada malam ini,” tebakku.

Dia menggeleng.

“Oh, city light?,” tebakku lagi.

Dia kembali menggeleng.

“Terus?,” tanyaku bingung.

“Kamu,” Jawabnya.

“Aku sudah memikirkannya, bahwa berapapun banyaknya bintang di langit, kamu tetap menjadi bintang yang paling indah dan paling terang cahayanya bagiku. So, maukah kamu jadi bintang yang selalu membersamai bulan dalam purnama dan gerhananya?,” lanjutnya.

“Tentu saja, aku akan menjadi Bintang yang tak akan pernah habis memancarkan cahaya. Aku juga akan menjadi bintang yang selalu menemani bulan untuk menghiasi langit malam untuk bumi dan seisinya.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.