Oleh : Ghaitza Andara
Pendidikan sejatinya disuguhkan untuk masyarakat sebagai media pembangun kualitas intelektual halus maupun kasar seseorang. Namun, yang dapat kita lihat saat ini seakan mencirikan ketidakberdayaan antara sistem pendidikan yang ada dengan daya kemampuan SDM nya. Mengapa? Suatu hal remeh yang sering terlontar dari para pelajar namun sarat akan makna salah satunya adalah keluhan yang mereka rasakan yang terucap dengan sendirinya tanpa disadari mengenai betapa melelahkan dan tidak efisiennya kehidupan berpendidikan di negeri ini. Ketimpangan ini terjadi karena pemaksaan secara tidak langsung dari struktur pendidikan Indonesia, dimana pelajar dibebani dan diharuskan menjalani masa sekolahnya dengan belasan mata pelajaran yang tidak keseluruhannya masuk dalam daftar passion mereka. Para pelajar pun pada akhirnya menjalani hari-hari sekolahnya dengan mau tidak mau, senang tidak senang. Mereka didesak untuk unggul di semua mata pelajaran, seakan stigma masyarakat terhadap “nilai” tidak akan pernah tergeser.
Mekanisme pendidikan ini sedikit banyak mengandung prosedur yang menyulitkan dan memberatkan bagi masyarakat dengan ekonomi kelas bawah. Ambil saja contohnya yaitu program bidikmisi bagi pelajar dari keluarga kurang mampu yang ingin melanjutkan pendidikan nya ke perguruan tinggi. Program bidikmisi ini sendiri telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2010. Apa yang terlihat dari luar mungkin berjalan mulus-mulus saja dan tak terkendala oleh apapun, namun jika ditelisik lebih dalam banyak ketimpangan-ketimpangan yang timbul. Seperti keterlambatan dari cairnya dana bidikmisi tersebut. Tanggapan dari pemerintah ataupun menteri Pendidikan pun dinilai kurang responsif dan tanggap akan permasalahan ini. Tentu hal tersebut sangat disayangkan bagi mereka yang penghidupan biaya pendidikannya bergantung pada dana bidikmisi. Mau tidak mau, pelajar yang terkena imbas ini harus bertahan dengan biaya yang tersisa. Kondisi ini diperburuk dengan tidak tercapainya target yang ingin dicapai dalam program bidikmisi. Semakin kesini, hak-hak yang seharusnya diberikan dan didapatkan para pelajar yang kurang mampu justru diambil alih oleh mereka dari kalangan yang mampu. Entah apa yang mereka cerna sehingga dengan tega merampas kuota yang seharusnya diisi oleh mereka yang kurang mampu.
Dan tentu bukan hanya dari perspektif ketidakberdayaan pemerintah dan jajaran menteri pendidikannya, sepertinya hal tersebut menular ke dalam sendi-sendi otonomi kampus di negeri ini. Kebijakan demi kebijakan yang tertuang selama berlangsungnya kehidupan civitas akademika perguruan tinggi lebih condong dalam memantik emosi para mahasiswanya yang mempunyai empati terhadap kesejahteraan bersama untuk bergerak melawan. Salah satu poin esensial yang sering terjadi ketidakseninambungan nya adalah mengenai transparansi uang pangkal dan mahalnya ataupun naiknya uang kuliah tunggal (UKT). Sedikit sekali klarifikasi yang disampaikan oleh Rektorat ataupun pimpinan kampus dalam memuaskan haus dan menjawab secara tuntas tuntutan yang diberikan oleh mahasiswa setiap kali terjadi penyelewengan hak berpendidikan. Tidak adanya transparansi dalam alur atau mekanisme biaya uang pangkal yang nominalnya cukup membuat geleng kepala ini, mengingat institusi yang terkait di bawah tangan pemerintah (negeri). Birokrasi kampus pun seakan enggan sekali bersentuhan dengan polemik ini dan menuntaskan kemelaratan yang terjadi. Pada akhirnya, kemana kebijakan berpendidikan yang seharusnya mensejahterakan masyarakat negeri ini? Perayaan hari pendidikan nasional yang bergulir setiap tahunnya seperti mencerminkan embel-embel tak pasti dengan esensi problem-solving di tiap polemiknya yang kelabu. Panjang perjuangan untuk kita semua yang ingin bercicip ria dalam kehidupan berpendidikan yang berasas !