Oleh : Soimatul Intan Safitri
Suatu sore yang terus beranjak meninggalkan matahari yang mulai sempoyongan berdiri di tempatnya. Ia lelah untuk menawarkan keagungannya dan ingin kembali tidur di peraduannya. Keadaan yang sangat ramai di kota Yogyakarta menjelang malam kala itu, tepatnya di sebuah café Maraloka. Keadaan yang terang benderang ditambah lampu yang berkelap kelip tanpa merasa lelah. Pengunjung tempat itu sangat padat. Beberapa orang di sudut ruangan sibuk bercengkrama dengan teman-temannya, ada yang bersama sang kekasih dan ada pula yang hanya masuk beristirahat dari kepenatan. Dan yang lain tengah serius menikmati makanan yang tertata di atas meja sambil memperlihatkan seorang gadis yang mengulas suara merdunya dan dengan lincahnya memainkan sebuah gitar di atas panggung.
Setiap sore gadis itu memang berlangganan untuk menawarkan suara merdunya di café tersebut. Namun bukan mencari uang utuk biaya sekolah melainkan hanya untuk memuaskan hobinya sekaligus menghibur orang-orang yang meramaikan tempat itu. Pemilik café pun tidak keberatan, malah merasa diuntungkan. Selain karena gadis itu tidak meminta upah, ia juga telah melariskan café itu. Semenjak kedatangannya banyak pengunjung yang datang bahkan café itu banyak pria seumurannya. Bahkan acapkali ada yang berani meminta nomor handphone. Dibalik keserhanaan gadis itu justru menyimpan banyak hal yang ia sembunyikan. Ia bernama Renata, anak seorang pengusaha sukses di kota itu. Penampilannya sangat sederhana seakan tidak menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan atas, wajahnya cantik dan juga memikat hati. Gadis itu pun sangat ramah dan cerdas. Di sisi lain, tepatnya di SMA Pasopati Yogyakarta. Sekolah swasta yang berpenghuni rata-rata berduit yang setiap hari diantar jemput oleh supir pribadi mereka masing-masing, penampilan mereka serba mewah.
Tepat pukul 07.00 WIB bel berdering sebagai pertanda kepada siswa untuk memasuki kelas mereka masing-masing. Di kelas XII IPA 3 yang tadinya sangat hingar-bingar mendadak hening tatkala seorang guru masuk ruangan kelas sambil menuntun seorang siswa baru. Semua mulut siswa yang berada di kelas itu ternganga melihat penampilan siswa tersebut dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki. Mata mereka tak berkedip melihat penampilannya. Ada apa sebenarnya ? Gadis itu berpenampilan jauh berbeda dengan semua siswa yang ada di kelas. Ia sangat cupu dengan rambut di kepang dua, kacamata bulat dan besar yang menutupi matanya. Di atas mulutnya di sebelah kanan terdapat tompel sebesar kuku jari kelingking. Pakaiannya pun terlihat tidak disetrika. Sepatunnya sedikit kumuh karena terkena lumpur. “Renata, silahkan duduk dan ajak teman-temanmu untuk berkenalan” ujar guru yang mengantarkan gadis itu sebelum meninggalkan ruangan kelas. Dengan langkah ragu Renata melangkah menuju meja kosong yang tersedia di kelas itu, tepat di barisan paling belakang bagian pojok kelas. Ia tampaknya risih dengan pandangan teman-teman barunya yang menatapnya sinis. Renata berusaha melirik satu persatu temannya dengan senyuman kecil. “Persis badut!” teriak salah satu penghuni kelas itu sambil tertawa terbahak-bahak diikuti anak-anak yang lain. “Kacamatanya butut” ejek yang lain lagi.
Renata mendekati mejanya dengan perasaan campur aduk. Tiba-tiba tiga orang gadis mendekati Renata. Salah satu diantara mereka merebut kacamata renata dan menjatuhkannya ke lantai. “Rasain, mampus lo” ejek gadis tadi tertawa terbahak-bahak saat melihat Renata mulai merunduk-runduk di lantai sambil meraba dan mencari kacamatanya. Namun dengan sigap salah satu diantara mereka menginjak tangan Renata dengan keras hingga ia menjerit kesakitan. Tidak ada yang mendekat untuk menolong, mereka semua tertawa terkekeh-kekeh dan puas melihat penderitaan Renata. Tidak, eh tidak semua suka dengan penderitaan yang dialami Renata. Dari 40 jumlah siswa yang berada di kelas itu, dua diantara mereka datang menolongnya. Satu pria dan satunya lagi wanita. Rautnya prihatin, mereka tidak ikut tertawa, “Ini, kacamatamu” sahut pria yang menolong Renata senyum kepadanya sambil menyodorkan kacamata miliknya.
“Aku bantu berdiri yah” imbuh wanita yang bersama pria tadi segera membantu Renata untuk berdiri dan menuntunnya menuju sebuah kursi kosong.
“Awas lo” umpat salah satu seorang dari ketiga gadis tadi. Mereka memandang adegan itu dengan wajah kemerah-merahan menahan rasa marah.
“Namaku Rizky” sahut pria yang menolong Renata dengan mengulurkan tangan.
“Kalau aku Dian”
“Renata” balas Renata menerima uluran tangan Rizky dan Dian.
Rizky dan Dian sempat saling pandang kemudian senyum dikulum tatkala tahu bahwa nama gadis itu adalah Renata. Sungguh namanya tak seindah penampilannya.
Semenjak peristiwa naas itu, mereka bertiga semakin dekat dan menjalin persahabatan. Terbukti mereka kompak dan selalu bercanda bersama. Mereka berusaha memahami karakter masing-masing. Renata senang mengenal kedua sahabatnya, Rizky dan Dian. Ternyata diantara ribuan manusia di muka bumi ini masih ada orang yang setulus mereka dalam berteman. Baginya dua orang sahabat jauh lebih berharga daripada seribu orang yang berteman karena kedudukan keluargannya yang tinggi. Gadis café itu, akhir-akhir ini jarang memunculkan batang hidungnya di café. Ketidakhadirannya membuat para pelanggan café mogok masuk. Mereka bermalas-malasan untuk datang terutama para pria yang menjadi penggemarnya. Rupanya kini gadis café itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk rekaman album terbarunya. Tidak pernah terduga bila lagu ciptaannya selain diminati oleh orang yang berada di café juga diminati oleh seorang produser terkenal di kotanya. Semenjak CD dan kaset lagunya beredar, nama dan lagunya yang berjudul “café” semakin membooming. Ia menadi sorotan publik, seantero kota semakin mengenalnya. Bahkan tidak jarang orang yang mengerumuninnya hanya untuk meminta tanda tangan. Tetapi sangat melelahkan menjadi orang yang terkenal, setiap saat kamera harus berhadapan dengan wajahnya, berbagai kegiatannya harus pula dipublikasikan dan wartawan tidak henti-hentinya interview dimana saja ia berada. Disisi lain, keberadaan Renata mulai menjadi tanda tanya yang besar di benak para siswa SMA Pasopati Yogyakarta. Siapa sebenarnya dia ? Mengapa penampilannya lusuh, terlihat miskin dan kelihatan tidak berprestasi itu bisa lolos masuk sekolah mahal tempat mereka. “Kok muka lo mirip penyanyi terkenal itu, siapa lagi namanya—Oh Renata, iya lo mirip Renata Almera Handoko” ujar seorang teman sekelasnya saat melihat Renata melepaskan kaamatanya. “Bukan, aku bukan dia” elak Renata segera memakai kembali kacamatanya “Loh, suara lo juga mirip banget” imbuh mereka. Bangkai yang selalu di tutup-tutupi lama kelamaan pasti akan tercium juga. Bagaimanapun kerasnya Renata untuk mencegah, pasti pada akhirnya ketahuan juga. Hingga pada suatu hari kantin SMA Pasopati Yogyakarta sedang laris manisnya diserbu pembeli. Disana ikut pula diramaikan oleh Renata, Rizky dan Dian.
“Gue mau ngasih info penting” teriak seorang gadis yang sama menjahili Renata saat pertama kali menjadi siswa baru di sekolah itu.
“Gue mau kasih tau aib cewek itu” Teriaknya keras sambil menunjuk renata. Kantin yang tadinya ramai mendadak hening. Semua pandangan terfokus ke Renata dan gadis tadi.
“Cewek cupu yang ada dihadapan kalian ini sedang berpura-pura. Ia adalah Renata penyanyi terkenal di kota kita!”
Semua orang terhenyak, mereka kaget bukan main bahkan kedua sahabat Renata pun sama sekali tidak percaya. Dengan ragu Dian membuka kacamata yang bertengger di mata gadis berkacamata itu. Dian mulai meraba wajah gadis itu dan terbelakak karena tompel yang menempel dipipinya hanyalah palsu. Renata mulai menangis tersedu-sedu. Ia kemudian beranjak pergi dari kantin dengan tatapan pengunjung yang terus menatapnya. Renata merasa malu tidak menyangka bahwa tindakannya selama ini tidak sesuai dengan perkiraannya. Ia mengubah penampilannya agar bisa menemukan sahabat yang benar-benar tulus, tidak ada maksud lain. Melalui jalan itu ia menemukan sahabat yaitu Rizky dan Dian. Sekarang reputasinya telah hancur, Renata tak ingin lagi berada di tempat itu. Ia ingin pulang ke rumah dan menyembunyikan diri di sana. Namun malang tak dapat di tolak untung tak dapat di raih, takdir berkata lain. Saat Renata menyeberangi jalan, sebuah mobil avanza dengan kecepatan tinggi menabraknya hingga ia jatuh terpelanting jauh dari jalan raya. Orang-orang berkerumunan dengan cepat sehingga kemacetan pun terjadi dimana-mana. Hari-hari yang bergulir dengan cepatnya. Tidak ada lagi gadis berkacamata dengan penampilan kumuh dan cupu yang menjadi sasaran bully anak SMA Pasopati Yogyakarta. Tidak ada lagi gadis café yang kini meramaikan tempat itu. Bahkan tempat itu kini ditutup karena tidak ada lagi pelanggan yang berdatangan. Tidak ada lagi Renata yang menjadi penyanyi top di Yogyakarta. Tidak ada lagi sahabat Rizky dan Dian yang memenuhi hari mereka. Semuanya hanya tinggal nyanyian mentari yang berubah menjadi seonggok kenangan. Menjejak dalam memori tentang gadis café yang kini tiada. Terdiam dalam beku. Gadis café itu pergi dengan karya dan nama yang masih membooming. Lagunya yang berjudul “café” masih bergema di kotanya. Lagu tersebut bahkan menjadi favorit semua kalangan. Walaupun daun berguguran menerpa gundukan merahnya. Coretan penanya membekas di memori para pengagum rahasianya. Selamat jalan Renata.