Sastra

Kopi dan Kenangan

Karya: Manusia Setengah Robot (MSR)

Pagi itu, angin lembut bertiup menyapu wajah-wajah yang berlalu-lalang di jalanan. Matahari mulai naik, cahayanya memantul di kaca-kaca gedung, menciptakan kilau yang hangat. Di salah satu sudut kota, ada sebuah kafe kecil dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Bukan kafe mewah yang dipenuhi perabotan mahal atau lampu gantung kristal, melainkan sebuah tempat yang nyaman, di mana meja kayu berderet sederhana dan jendela besar menghadap ke jalan. Tempat itu menjadi persinggahan bagi mereka yang ingin sejenak melarikan diri dari kesibukan.

Seorang pria duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela. Di depannya, secangkir kopi hitam yang mulai mengepulkan uap. Tangan kanannya perlahan mengangkat cangkir, mendekatkannya ke bibir. Dia menyesap kopi itu dengan pelan. Seteguk pertama langsung menyentuh lidahnya, menyebarkan rasa asam yang tajam. Dia menutup matanya, mencoba membiarkan rasa itu mengalir masuk, seperti menghidupkan kembali ingatan-ingatan lama yang telah lama tersimpan.

Rasa asam itu seketika membawanya kembali ke masa lalu. Ia teringat kegagalan yang pernah ia alami. Sebuah kenangan pahit yang selalu membayanginya. Waktu itu, ia hampir mencapai mimpinya, namun pada detik-detik terakhir, semuanya runtuh. Seperti rasa asam kopi yang tajam, kenangan itu menusuk perasaannya setiap kali ia mencoba mengingatnya. Namun, seperti secangkir kopi, kegagalan itu telah menjadi bagian dari hidupnya, sesuatu yang tak bisa ia hindari, tapi juga tak bisa ia abaikan.

Cangkir itu kembali diletakkan di atas meja, namun hanya untuk sementara. Sesaat kemudian, ia mengambilnya lagi, kali ini menyesap lebih dalam. Rasa pahit memenuhi mulutnya, seolah menggantikan asam yang telah berlalu. Pahitnya kopi itu seperti rasa takut yang dulu pernah menghantui setiap langkahnya. Ia pernah mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya. Ingatan tentang tubuhnya yang terluka, suara rem yang memekik, dan detik-detik saat ia berpikir bahwa mungkin itulah akhir hidupnya, kembali membanjiri benaknya. Pahit, seperti kopi yang kini ia sesap, tapi sekali lagi, ia sadar, seperti semua yang lain, rasa pahit itu pun merupakan bagian dari perjalanan hidupnya.

Seteguk terakhir, dan kali ini, rasa manis samar menyelimuti lidahnya. Manisnya kopi yang datang di akhir, seolah mengingatkan dia akan kenangan-kenangan indah yang telah ia lewati. Ia teringat akan momen-momen kecil yang dulu mungkin tak pernah ia hargai. Senyuman di pagi hari, tawa bersama teman-teman, atau bahkan sekadar berjalan-jalan menikmati langit sore. Meski saat itu tampak sederhana, sekarang kenangan itu terasa sangat berharga. Seperti manisnya kopi yang muncul di akhir, kenangan itu adalah penyeimbang dari semua rasa pahit dan asam yang telah ia lalui.

Kopi itu bukan sekadar minuman baginya. Setiap lapisan rasa yang ia rasakan seolah membangkitkan lapisan ingatan yang tersimpan dalam benaknya. Hidup, seperti secangkir kopi, penuh dengan lapisan yang berbeda-beda. Kadang terasa asam, kadang pahit, namun selalu ada manis di ujungnya, jika kita mau mencarinya. Setiap tegukan memiliki kisahnya sendiri, dan setiap kenangan, baik itu pahit, asam, maupun manis, semuanya adalah bagian dari perjalanan hidup yang tak ternilai.

Pria itu tersenyum kecil, meletakkan cangkir yang kini hampir kosong di atas meja. Ia menyadari, bahwa hidup tidak selalu mudah. Tapi seperti kopi yang kini tinggal ampas, semua itu adalah bagian dari proses. Tak ada rasa yang sia-sia, seperti tak ada kenangan yang sepenuhnya buruk. Semua ada untuk memberikan arti pada hidupnya.

Ia menatap keluar jendela, melihat orang-orang berlalu-lalang dengan kehidupan mereka masing-masing. Dalam hati, ia bertanya-tanya, cerita apa yang dibawa oleh setiap orang? Kisah-kisah apa yang tersembunyi di balik wajah-wajah yang tampak tenang? Seperti kopi yang memiliki lapisan rasa, setiap orang pasti membawa kenangan dan pengalaman yang berbeda. Mungkin tak ada yang tahu cerita mereka secara utuh, kecuali diri mereka sendiri.

Setelah beberapa saat merenung, pria itu bangkit dari kursinya. Dia mengenakan mantelnya, membayar kopinya, dan melangkah keluar dari kafe. Udara pagi yang segar menyambutnya, dan dengan langkah ringan, ia berjalan menyusuri trotoar. Hari ini, ia siap menghadapi hidup, dengan segala asam, pahit, dan manisnya. Setiap tegukan, setiap kenangan, adalah bagian dari dirinya.

Jadi, sudahkah kamu menikmati kopimu hari ini? Sudahkah kamu menerima setiap lapisan rasa yang datang dengan kehidupanmu, dan menghargainya, seperti seorang penikmat kopi sejati?

Leave a Reply

Your email address will not be published.