Opini

Rupiah Melemah, Masyarakat Kecil Tercekik

Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika akhir-akhir ini menjadi sorotan nasional. Banyak pihak mulai menghitung dampaknya terhadap neraca perdagangan, inflasi, hingga daya saing ekspor. Namun di balik analisis ekonomi makro itu, ada realitas sunyi yang jarang disorot, yaitu beban yang semakin berat di pundak masyarakat kecil.

Sebagai mahasiswa peternakan, kami turut menyaksikan langsung bagaimana fluktuasi nilai tukar Rupiah menimbulkan efek domino yang nyata. Sebagai contohnya harga pakan ternak melonjak karena sebagian besar bahan bakunya seperti jagung impor, bungkil kedelai, dan premiks vitamin masih tergantung pada luar negeri. Obat-obatan, vaksin, hingga peralatan kandang pun ikut naik. Sayangnya, harga jual hasil ternak seperti telur, ayam pedaging, dan daging sapi tidak selalu mengikuti kenaikan biaya produksi.

Inilah yang disebut sebagai “biaya diam-diam” dari pelemahan Rupiah yang tidak tertulis dalam laporan keuangan negara, namun menghantui dapur-dapur rakyat kecil. Peternak tradisional yang bekerja dengan modal terbatas dan teknologi sederhana kian terjepit. Dalam jangka panjang, kondisi ini bukan hanya merugikan individu peternak, tetapi juga melemahkan fondasi ketahanan pangan nasional.

Di sisi lain, diskusi publik dan kebijakan negara tentang nilai tukar masih terlalu elitis. Fokus utamanya berkutat pada kepentingan korporasi besar, sektor ekspor-impor, dan stabilitas moneter. Sementara suara peternak, petani, nelayan, dan sektor informal nyaris tak terdengar. Padahal merekalah ujung tombak penyedia pangan, yang justru paling terdampak oleh pelemahan mata uang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), harga pakan ternak mengalami kenaikan signifikan sejak kuartal akhir 2023, seiring dengan melemahnya Rupiah yang sempat menyentuh angka lebih dari Rp16.900 per USD pada awal April 2025. Kenaikan harga ini turut menurunkan margin keuntungan peternak dan meningkatkan angka keengganan untuk beternak kembali, terutama di sektor unggas mandiri. Situasi ini bisa memicu krisis pasokan daging dan telur jika tidak segera diantisipasi dengan kebijakan yang berpihak pada produsen lokal.

Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah yang lebih berpihak. Ketahanan ekonomi nasional bukan hanya dibangun dari neraca devisa, tetapi dari daya tahan pelaku usaha kecil. Subsidi pakan, insentif untuk produksi lokal, akses kredit yang mudah, serta perlindungan harga hasil ternak adalah kebijakan yang harus digencarkan. Tanpa campur tangan yang terstruktur, pasar akan terus bergerak liar mengikuti gejolak nilai tukar dan permainan spekulan. Padahal, peternakan bukan hanya soal ekonomi, ia menyangkut hajat hidup orang banyak, dari produsen hingga konsumen. Negara tidak boleh abai dalam melindungi sektor ini dari gejolak global yang tidak bisa dikendalikan oleh rakyat kecil.

Pelemahan Rupiah memang dipengaruhi faktor global. Tapi kekuatan untuk melindungi rakyat dari dampaknya adalah keputusan nasional. Jangan biarkan nilai tukar yang melemah menjadi alasan lemahnya perlindungan terhadap rakyat kecil. Sebab ketika Rupiah kehilangan nilainya, jangan sampai nilai kemanusiaan juga ikut menurun.

Referensi :

Bisnis.com (2025, 9 April). Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS Hari Ini, Rabu 9 April 2025.Trobos Livestock (2024, 30 Agustus). Peluang Industri Pakan Menggenjot Produksi di 2025.

Kompas.com (2025, 9 April). Zulhas Ungkap Rencana Pemerintah Ikut Kendalikan Harga Pakan Mirip Bulog di Pangan.

Poultry Indonesia (2024). Dinamika Industri Pakan dan Proyeksi ke Depan.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI (2025). Kementan Prioritaskan Anggaran Subsektor Peternakan 2025 untuk Pengembangan Sapi Perah dan Pedaging.

Penulis: Galuh/Hus

Editor: Lusi/Hus

Leave a Reply

Your email address will not be published.