Sastra

LUKA DARI KOTA SATRIA

Oleh: Rika Apriliani, Fapet 2017

Semester 6 sudah hampir berlalu, masa yang kukira akan menjadi candu justru kini berujuang pilu. Masa terakhir sekelas bersama justru menjadi duka yang tak terencana. Fapet menjadi sepi karena masalah pandemi. Kampus yang memberikan banyak cerita suka duka itu kini sedang tak berpenghuni. Pulang, akhirnya menjadi pilihan untuk saat ini. Suka, duka, tawa, dan cerita bercengkrama kini harus dilakukan secara virtual, yang sebenarnya tak begitu menyenangkan. Rindu kelas, kampus, dan kota satria beserta isinya kini mulai terasa.  

Pulangnya aku ke daerah asalku membuatku memiliki rasa rindu pada kota tempatku menuntut ilmu. Tak hanya dengan kotanya, ternyata rinduku juga tertuju pada salah satu penghuninya. Haha, penghuni kota satria yang tak pernah aku kenal sebelumnya, kini justru menjadi sosok yang pernah memberi bahagia dan luka tanpa ada niat sebelumnya. Aku tak tahu darimana asal rasa ini dan sampai saat ini aku juga belum bisa menemukan darimana awalnya. Awal aku kenal, bicara, bercanda, dan kita saling bercengkrama sampai bisa berakhir dengan chatting via WA.

Semester 1, semester 2, dan semester 3 aku masih belum sadar akan adanya dia. Sampai saat ini aku juga masih berpikir “kok bisa?”. Kok bisa aku menjalin cerita sejauh ini dengannya, tanpa rencana, tanpa disengaja. Padahal aku sadar akan hadirnya dia saja ketika sudah menginjak semester 4. Lucu awalnya, tapi siapa sangka kini canda yang terkesan membuat bahagia justru semakin lama menjadi luka. Luka yang bahkan sampai saat ini aku belum menemukan cara bagaimana aku bisa menyembuhkannya.

Hari demi hari sudah terlewati, awalnya masih biasa saja, canda tawa masih terjadi sewajarnya. Aku masih merasa biasa saja. “Ah, dia hanya bercanda sudahlah tanggapi dengan bercanda juga” kata hatiku menguatkan pendirian agar tetap berada pada posisi yang tak larut dalam perasaan. Dan siapa sangka jika semakin hari aku semakin melupakan pendirian yang selama ini aku kuatkan. Ya, aku lupa bahwa dia hanya membawa canda bukan rasa apalagi cinta dan aku lupa bahwa dia tak punya niat apa-apa, hingga saatnya sesuatu yang aku takutkan benar-benar datang.

Ya, rasa. Pada saat itu aku begitu takut untuk melibatkannya dan kini justru terlibat begitu dalam. Aku bingung bagaimana aku harus mengakhirinya jika awalnya ada dimana saja aku tak tahu keberadaannya. Awalnya hatiku masih terus meyakinkan bahwa ini hanya rasa yang akan berlalu begitu saja, tapi siapa sangka jika rasa yang berawal dari sebuah canda itu justru menjadi luka. Luka yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Aduh bagaimana ini, aku gamau kaya gini, dia teman takkan lebih” hatiku terus meyakinkan untuk tak makin terlalu dalam terbawa perasaan.  Dan apakah itu berhasil? Tentu saja, nihil. Rasa itu bukan pergi tapi justru semakin menjadi-jadi. Siapa yang meminta untuk diberikan rasa pada orang yang tidak semestinya? Tidak ada. Begitupun aku yang tak pernah meminta untuk diberikan rasa yang seringkali disalahkan dalam kerusakan pertemanan.

Entah sejak kapan, tapi tiba-tiba nama dan senyumnya ada dalam pikiran, padahal sebelumnya aku mengenalmu saja tidak. Rasa memang selucu dan secepat itu berubah. Bukan aku yang merubah tapi, rasa ini telah dirubah. Aku benar-benar tak pernah meminta kepada siapa aku diberi rasa dan aku juga takkan tahu kepada siapa kelak jodoh kan bertemu. Aku hanya mengikuti jalan, pernah berusaha untuk berbalik tapi aku justru terperosok dalam hubungan yang tak menyehatkan.

Sebuah hubungan toxic itu yang kemudian membuatku kembali bergerak maju menuju pada tujuan yang semakin tak menentu. Dalam hati ingin bersama, tapi dalam nyatanya raga tak mau menurutinya. Aku takut jika harapan tak bisa terwujud dengan semestinya, aku takut jika sesuatu yang aku anggap bisa menjadi bahagia justru akan memberikan duka, luka, dan kecewa.

Aku benar-benar sudah menahan, tapi ego memang tak terkalahkan. Dan apa yang menjadi ketakutanku justru menjadi kenyataan. Benar, apa yang diharapkan tak sesuai kenyataan dan apa yang kuanggap bahagia justru menjadi luka. Titik semester 5 adalah awal terbentuk luka, titik dimana aku semakin tahu tentang dia, aku semakin mengenalnya, dan itu yang membuatku semakin terluka. Aku mulai tahu siapa yang ada di hatinya, siapa yang diinginkannya, dan siapa orang-orang terdekatnya.

Sejak awal kamu bodoh, sejak awal kamu emang salah, kenapa harus ditanggapi dan kenapa bisa terjadi sejauh ini. Sekarang siapa yang kecewa dan siapa yang terkena luka? Kamu sendiri” marahku yang aku luapkan pada diriku sendiri. Aku sebenarnya tak ingin disalahkan dan tolong untuk jangan menyalahkan, karena aku menganggap ini adalah salah satu karunia Tuhan. Di sini aku telah dipilih untuk diberi rasa tanpa harus menerima balasannya, aku memiliki rasa sendiri tanpa ada yang ikut mendampingi dan disini juga aku yang berakhir dalam luka sendiri.

Siapa yang tahu bahwa aku sudah terbawa rasa sejauh ini dan sudah terluka sedalam ini. Hingga aku sering menangis sendiri, bukan aku yang menginginkannya tapi mengapa aku yang harus terluka? Memang sudah menjadi konsepnya bahwa siapa yang memiliki rasa maka dia juga yang akan  terluka. Si dia mana tahu apalagi peduli. Dia hanya tahu kamu adalah teman baik yang takkan menjadi sosok yang lebih. Dia takkan peduli akan adanya kamu, apalagi rasamu. Sama sekali tak peduli. Lalu siapa yang akan mengobati dan siapa yang akan mengakhiri? Ujung-ujungnya aku sendiri. Aku sendiri yang membawa rasa maka aku juga harus menyelesaikannya.

Sempat terbesit niat untuk menjauh pergi, tapi hati tak mau mengikuti. Hati tetap pada pendiriannya, melindungi posisi dia berada. Semakin hati ini melindunginya semakin jadi luka yang ada. Bagaimana bisa hati bertahan pada sosok yang sama sekali tak peduli, membuat luka sendiri, dan menangis setiap hari. Dengan ini, aku menjadi orang yang menyakiti diri sendiri, aku membuat luka baru setiap hari. Lalu, bagaimana dengan dia? Dibalik keluh kesahku dalam menahan rasa, dia masih seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa, meski sebenarnya jiwa terus terluka.

Hubungan pertemanan ini masih saja terjalin dengan baik, tanpa dia tahu ada begitu banyak luka yang sudah terbentuk. Ya, hanya aku yang terluka sedangkan dia tak tahu apa-apa. Canda tiap hari masih terus mengiringi percakapan kami dan bodohnya aku masih saja mengikuti sembari membawa luka ini. Terus berpura-pura tidak apa-apa adalah jalan ninjaku agar aku bisa terus menjalin hubungan baik dengannya. Karena jujur saja hati ini begitu berat untuk diajak beranjak darinya. Canda tawa ini masih terus ada meskipun pada kenyataannya aku sendiri yang penuh luka sampai akhir semester 5.

~~~

Semester 5, semester luka, aku ingin mengakiri luka ini pada saat libur UAS nanti. Dan itu hanya kembali menjadi sebuah keinginan yang tak berujung pembuktian. Logikanya lama tak bertemu maka rasa akan semakin semu, tapi nyatanya? Lama tak bertemu justru membuatku semakin rindu.

Ah, perasaan apa ini, kenapa jadi seperti ini? Bukankah harusnya aku lupa, tapi kenapa justru menjadi rindu yang menyiksa?” Dan aku masih saja berada pada posisi berpura-pura tidak apa-apa, menanggapi setiap ucapan dengan tawa hingga kadang aku lupa bahwa dia juga yang telah memberi luka.

Ada saat dimana aku benar-benar merasa kecewa dan membuatku enggan lagi menanggapinya dan itu berhasil membuat kita jarang bercengkrama. Aku perlahan mulai lupa, perlahan menyembuhkan luka dan aku yakin saat semester 6 keadaan akan kembali sehat seperti sedia kala.

Semangat aku, kamu bisa mengakhiri semuanya” ucapku untuk Aku yang tak kunjung bisa melupakan sayatan luka yang masih perih dirasa. Dan pada saat itu memang aku lebih bisa acuh dan tak lagi ingin tahu tentang dia dan kehidupannya. Libur semester 5 sudah  cukup berhasil memang, tapi semua itu tak berlangsung lama setelah datang semester 6. Kuliah tatap muka telah kembali dan kita pada akhirnya bertemu lagi. Tak sama seperti sebelumnya, di sini dia berbeda, entah apa yang membuatnya menjadi berbeda tetapi aku merasa ini memang ada yang berbeda.

Sebuah perbedaan yang membuat rasa yang kupendam lama agar segera mati kini justru datang kembali. Pasti saja sebenarnya aku masih trauma, tetapi hatiku benar-benar tak bisa diberi tahu bahwa ini akan kembali membawa luka. Rasa ini kembali memenuhi jiwa, bahkan lebih penuh dari sebelumnya. Siapa sangka? Tidak ada, aku sendiri tak pernah menyangkanya hingga aku bertekad, tak apa jika memang harus seperti ini, mari selesaikan pada saat kelulusan nanti. Aku ingin menghabiskan sisa waktuku di Kota Satria ini dengan penghabisan rasaku yang tak banyak orang tahu. Aku ingin mewujudkan harapan-harapanku itu dalam jangka waktu yang bisa dihitung dalam minggu.

Tapi, kenyataan kadang tak sesuai dengan harapan, disaat aku mulai bisa mengendalikan rasa dan luka agar tak lagi separah sebelumnya, pandemi justru mengacaukan semuanya. Harapanku, rencanaku, dan semua yang sudah aku susun kini tak lagi menentu. Kelas tak lagi ada, kampus diliburkan, Fapet sepi dari peradaban, membuatku harus pulang dan hingga akhirnya aku memiliki rindu yang tak berkesudahan pada salah satu rakyat Kota Satria. Masa pandemi yang membuat kita menjadi jauh dan harusnya aku bisa kembali berusaha lupa, justru menjadi rasa rindu yang begitu menyiksaku. Aku jadi tersiksa sendiri dan dia yang takkan pernah peduli. Aku lelah? Pasti, karena dari awal aku yang menanggung sendiri dan pada akhirnya aku benar-benar ingin segera mengakhiri.

“Bagaimana cara mengakhiri semua ini? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang bisa dilakukan? Aku lelah membawa rasa sendiri, aku ingin rasa ini pergi. Mengapa aku tak bisa memiliki rasa pada orang yang lebih peduli kepadaku, dan mengapa rasa ini justru ada pada sosok yang tak peduli denganku? Kenapa terus seperti ini? Jujur saja Tuhan aku lelah dengan cerita yang tak kunjung berujung ini”

Banyak pertanyaan yang hingga saat ini belum menemukan jawabannya dan hingga saat ini pula aku masih kebingungan mencari jalan keluar. Apa dia tahu? Entah lah, dia tahu pun bisa apa? Dia akan lebih memilih untuk pura-pura tak tahu apa-apa. Mungkin itu akan menjadi pilihan yang lebih aman meski sebenarnya dia tahu kenyataannya. Dan aku tak menyangka jika rasa sendirian begitu menyakitkan. Hanya terdiam dan tak pernah tersampaikan apalagi bisa berdampingan. Mustahil itu lah jawaban dari semua harapan.

Maaf jika keberadaanku begitu mengganggu, mungkin dia sudah tahu tentang apa yang kurasa, sebab aku memang tak pandai dalam menyimpannya. Aku sebagai pembawa rasa tak pernah meminta sebuah balasan atas apa yang sudah ditunjukkan. Aku hanya ingin dibantu dalam mengobati luka dan mencari jalan keluar .

Siapa yang akan mengira jika luka akan kudapat di Kota Satria. Kota yang kemudian akan dirindukan saat studi telah terselesaikan. Kota yang akan diingat dengan luka yang begitu menyayat. Bagaimanapun bentuk cerita yang diberi Kota Satria akan terukir di hati, sebab sebagian besar cerita lukaku ada disini. Meskipun melukai tak harus untuk dibenci, tetap saja Kota Satria akan menjadi saksi bahwa kita pernah bersama meski hanya sekejap mata. Doaku yang terbaik untukmu. Semoga Kota Satria kembali bisa memberi tawa dan di akhir pandemic, aku ingin segera kembali untuk menyelesaikan studi dan urusan hati.

Kota Satria, sampai jumpa lagi.

Beri aku tawa pada pertemuan di kemudian hari

Dan,

Sudah kucukupkan untuk luka saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.