Opini

AI MAKIN PANDAI, MANUSIA KIAN LALAI?

Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) mungkin hanya terdengar di dunia industri perfilm-an atau buku fiksi ilmiah beberapa tahun yang lalu. Tapi, lihatlah sekarang? Rasanya AI ada di mana-mana. Mungkin bagi banyak orang, AI membuat hidup jadi lebih gampang, tidak perlu repot dan lain sebagainya. Mau nulis caption Instagram atau bahkan membuat tugas kuliah? Dan apapun itu,  ada AI yang bisa bantu dalam hitungan detik. Bahkan hampir nyaris semua bisa otomatis semudah membalikan telapak tangan.

Tapi, justru karena semuanya jadi mudah dan instan, banyak muncul pertanyaan: apakah kita makin pandai, atau malah semakin lalai?

Source: Google

Ketergantungan terhadap kecanggihan AI ini, apabila tidak disikapi dengan bijak, bisa jadi bumerang bagi diri kita sendiri. Ketergantungan yang berlebih dapat mengikis kemampuan pola berfikir kita yang tadinya kreatif dan kritis menjadi AI otomatis. Layaknya manusia yang mencari jawaban, kini berubah menjadi meminta jawaban. Padahal, proses mencari itulah yang sering kali membentuk pemahaman yang jauh lebih dalam.

Disisi lain, saya percaya teknologi AI itu netral. Penentuan baik atau buruknya adalah cara kita menggunakannya. AI bisa jadi alat bantu yang luar biasa, asal kita tetap memegang kendali. Jangan sampai kita menjadi generasi yang pintar karena mesin, tapi lupa bagaimana caranya berpikir.

Namun kita juga tak bisa menutup mata bahwa AI membawa banyak manfaat yang sangat nyata. Di dunia pendidikan, misalnya, teknologi ini bisa membantu mahasiswa mahami materi lewat penjelasan yang lebih personal dan interaktif. Dosen juga bisa terbantu untuk menilai tugas secara otomatis. Dalam dunia kerja, AI membantu menyederhanakan proses yang repetitif, sehingga manusia bisa fokus pada hal-hal yang lebih strategis dan kreatif. Menurut McKinsey (2023), AI berpotensi meningkatkan produktivitas global hingga 1,4% per tahun selama dekade mendatang.

Meski begitu, penting sekali untuk diingat bahwa AI bukan “pengganti”,  melainkan ”pelengkap”. Kita tetap perlu membangun kesadaran digital dan literasi teknologi agar tidak sekadar menjadi pengguna yang pasif. UNESCO juga menekankan pentingnya pendidikan etika digital, agar generasi muda tidak hanya cakap menggunakan teknologi, tapi juga tahu batas dan risikonya (UNESCO, 2021). Dengan begitu, kita tidak hanya hidup berdampingan dengan AI, tapi juga tetap jadi manusia yang berpikir, merasa, dan bertanggung jawab.

Referensi:

McKinsey & Company. 2023. The Economic Potential of Generative AI: The Next Productivity Frontier. McKinsey Global Institute.
https://www.mckinsey.com/mgi/our-research/the-economic-potential-of-generative-ai

UNESCO. 2021. AI and Education: Guidance for Policy-makers. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000376709

Penulis: Arga/Hus

Editor: Lusi/Hus

Leave a Reply

Your email address will not be published.