Oleh: Kang Joki Idolamu
Cepat, instan, praktis, lanjut bayar, tugas pun tuntas. Joki tugas, istilah yang saat ini ramai dibincangkan di dunia pendidikan, justru menjadi boomerang bagi kualitas mahasiswa di era sekarang. Proses pembelajaran yang diterapkan disebuah institusi pendidikan bukanlah sekedar pajangan, yang bisa dibayar dengan uang semuanya selesai seketika. Kegiatan belajar dan mengajar (KBM) yang awalnya ditujukan untuk memberikan pemahaman dan mengevaluasi hasil pemahaman mahasiswa, berubah menjadi ladang bisnis illegal yang memecah belah moral dan etika pendidikan.
Joki tugas kerap kali dijadikan jalan pintas untuk menuju kesuksesan di kalangan mahasiswa. Apapun alasan dan motif yang mendasarinya, joki tetaplah hal yang melanggar aturan, baik secara etika dan moral mahasiswa. Tugas menjadi hal yang terlihat sepele, anda bisa bersantai, menggulir sosial media atau bahkan tidur siang, dimana mahasiswa yang lain bersusah payah untuk menyelesaikan tugas.
Applause sepuluh juta milyar, bagi anda yang telah membantu menciptakan generasi cemas dengan spesialis lari dari tanggung jawab, yang mahir mendapatkan nilai seratus dengan usaha nilai minus. Tentu saja, di zaman serba instan ini, siapa yang masih butuh proses?. Toh, gelar sarjana kini bisa dicapai hanya dengan satu klik dan satu transaksi. Mengapa harus bersusah payah mencari dan membaca literatur, berdiskusi, atau menyusun argumen, jika semua itu bisa didelegasikan ke orang lain dengan tarif nego via DM atau bahkan WA? Joki tugas hadir ibaratkan ojek online akademik: selalu siap, sedia, cepat, tepat, dan tanpa jejak. Sayangnya, mereka tidak mengantar ke pemahaman yang lebih mendalam, mereka hanya mengantar pada kelulusan semu.
Mahasiswa seharusnya menjadi insan akademis, bukan pelanggan tetap layanan copy paste premium. Ketika seseorang membayar untuk lulus, yang sebenarnya sedang dijual bukan hanya tugas, tapi juga integritas, nilai, bahkan masa depan. Mirisnya, sistem kadang tak cukup sigap mendeteksi ini, hingga akhirnya kita meluluskan individu-individu yang pintar menyembunyikan kemalasan, tapi gagap saat diminta berpikir kritis.
Apakah kita ingin dunia kerja nanti dipenuhi oleh lulusan yang hanya andal mengetik “kak bisa bantuin ngerjain tugas?” daripada “bagaimana saya bisa menyelesaikan ini dengan logika saya sendiri?”. Joki tugas bukan sekadar fenomena malas, ia adalah virus keputusasaan kolektif yang menyaru sebagai solusi.
Saya pribadi melihat praktik joki tugas sebagai bentuk nyata pelanggaran etika pendidikan. Ia tidak hanya mencurangi sistem, tapi juga mencemari esensi belajar itu sendiri. Pendidikan bukan ajang outsourcing tugas, tapi tempat kita belajar menjadi manusia utuh yang mampu berpikir kritis, merasa, dan bertanggung jawab atas apa yang mereka mulai. Ketika joki tugas dijadikan solusi, maka yang kita bangun bukan generasi emas, tapi generasi emas palsu yang hanya mengkilap di luar, rapuh di dalam.



