mediahusbandry.com- Hari Buruh atau May Day merupakan perayaan tahunan setiap tanggal 1 Mei sebagai momentum para pekerja dalam memperjuangkan haknya. Pada tanggal 1 Mei 1886 di Amerika Serikat, tepatnya di Chicago ribuan buruh melakukan aksi mogok kerja. Para pekerja saat itu harus bekerja dengan jam kerja 12 hingga 16 jam sehari dengan upah yang tidak layak. Mereka menuntut keadilan dengan penerapan 8 jam sehari yang dirasa lebih manusiawi. The Internasional Socialist Conferences menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional untuk mengenang perjuangan para buruh.
Di Indonesia, Hari Buruh juga diperingati setiap tanggal 1 Mei lewat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 yang mengatur hak-hak dan jaminan setiap buruh dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno saat itu. Saat masa Orde Baru, perayaan Hari Buruh tidak lagi diperkenankan karena dianggap sebagai kegiatan subversif atau berpotensi mengancam negara. Presiden Soeharto membatasi ruang gerak serikat pekerja dan melupakan UU Nomor 12 Tahun 1948. Bagaimana perjuangan tokoh buruh pada masa itu untuk terus memperjuangkan haknya?
Marsinah dan Munir, tokoh yang dikenal sebagai simbol perjuangan hak-hak buruh yang berujung pada penculikan dan kematian. Melansir dari detikjatim.com, Marsinah lahir di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada 10 April 1969. Selepas SMA, Marsinah tidak dapat melanjutkan pendidikan karena terkendala biaya. Ia kemudian melamar kerja di beberapa tempat sebelum akhirnya bekerja di pabrik arloji, PT Catur Putra Surya (CPS). Meski telah bekerja, Marsinah masih aktif mengikuti berbagai kursus untuk menambah pengetahuan. Ia juga dikenal memiliki minat baca yang tinggi, bahkan tak segan membaca koran bekas.
Marsinah kerap membela teman-temannya yang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan, keberanian Marsinah tercermin dalam perencanaan aksi pemogokan massal pada 3-4 Mei 1993. Perjuangan Marsinah pun terpaksa terhenti setelah ia diculik, disiksa, diperkosa, hingga dibunuh pada 8 Mei 1993. Jenazah Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di daerah Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar 200 km dari tempatnya bekerja, pada 9 Mei 1993. Pembunuhan seorang perempuan ini pun menjadi salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang pernah terjadi di Indonesia dan menarik perhatian dunia.

Munir Said Thalib lahir di Batu, Malang, Jawa Timur, pada 8 Desember 1965. Munir merupakan salah satu tokoh yang aktif dalam membela penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia pada masa Orde Baru. Dilansir dari kompas.com kasus pertama yang ditangani Munir adalah kasus buruh plastik PT Sido Bangun yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Melalui jalur litigasi, mereka menggugat dengan pasal perbuatan melawan hukum yang dikabulkan Mahkamah Agung. Kemenangan ini menjadi kemenangan buruh yang pertama terjadi di Indonesia. Munir juga menangani kasus Marsinah yang menjadi tonggak penting pergerakan buruh. Dalam kasus Marsinah itu, Munir tampil sebagai sosok yang tidak kenal kompromi pada kesewenang-wenangan pemilik modal ataupun negara yang mewujud dalam aparat militer.
Hingga akhirnya perjuangannya terhenti karena ditemukan meninggal di atas pesawat Garuda Indonesia saat terbang dari Jakarta menuju Amsterdam pada Selasa, 7 September 2024 yang saat itu masih berusia 38 tahun. Tujuan Munir ke Belanda untuk memulai studi Masternya pada bidang hukum humaniter di Utrecht University. Hasil otopsi dari the Nederlands Forensic Institue (NFI), diketahui kematian Munir disebabkan karena racun arsenik akut (acute arsenic poisoning) yang ditemukan dalam tubuhnya.
Penulis: Lusi/Hus
Editor: Lusi/Hus


