Sastra

Tarik Ulur Waktu

Hari itu, langit tidak tergesa-gesa. Awan menggantung seolah tahu, seseorang di bawahnya sedang memohon waktu untuk diam. Dia duduk di ujung bangku taman, tangannya menggenggam buku yang sudah lama tidak dibacanya. Namun matanya tidak pernah benar-benar jatuh pada halaman. Sesekali, ia melirik jam tangan, lalu menarik napas pelan—seperti berharap hembusannya bisa menghambat detik-detik yang melaju.

Lalu ia datang. Sosok yang tak pernah ia undang tapi selalu ia harapkan muncul. Langkahnya biasa saja, tidak ada yang istimewa selain kenyataan bahwa setiap jejak yang ia tinggalkan di jalan setapak itu akan selalu diingat.

“Lama nunggu?” tanyanya singkat, duduk di samping tanpa banyak basa-basi.

“Nggak terlalu,” jawabnya, mencoba menahan senyum. Padahal detik telah berubah jadi menit, menit jadi kegelisahan.

Dan seperti biasa, mereka mengobrol sekadarnya. Kalimat-kalimat yang dilempar seperti batu kecil di permukaan danau—membuat riak, tapi tak pernah cukup dalam untuk membangkitkan arus.

“Kamu udah makan?”

“Udah. Kamu?”

“Udah juga.”

Hening. Tapi bukan yang menyakitkan. Hening mereka seperti jeda dalam lagu, seperti jeda yang dibutuhkan mata untuk berkedip sebelum menatap lagi. Ia melirik ke arahnya. Matanya menatap jauh ke danau buatan yang tenang. Mata itu… tidak pernah benar-benar menangkap pandangnya, tapi selalu cukup untuk membuatnya diam.

“Bisa lebih pelan kali ini?” tanyanya pelan, bukan pada siapa-siapa. Atau mungkin pada waktu. Atau mungkin, dengan sedikit harap, pada sosok di sebelahnya.

“Apa?”

“Anginnya. Bisa lebih pelan,” jawabnya, menahan senyum. Kalimat itu meluncur seperti candaan, tapi hatinya berdoa.

Ia tertawa kecil. “Iya, anginnya mulai dingin.”

Dan begitu saja, waktu mulai menggerus lagi. Matahari bergerak. Bayangan mereka makin panjang.

“Balik yuk,” katanya, bangkit.

Perempuan itu berdiri pelan. Tapi sebelum langkah pertama dibuat, ia menahan diri.

“Bisa mampir dulu sebentar?” tanyanya.

Laki-laki itu menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Mau ke mana?”

“Nggak tahu. Ke mana aja.”

Dan mereka pun berjalan. Kadang bahu mereka bersentuhan, kadang tidak. Tapi suara langkah mereka seragam. Dua orang yang berjalan dalam kesunyian, namun saling mengisi.

Ada toko kecil di sudut jalan. Mereka mampir. Tidak membeli apa-apa. Hanya melihat. Hanya berhenti. Hanya menunda. Sambil berjalan pulang, perempuan itu kembali berbisik, “Ada jalan yang lebih jauh nggak? Aku mau kita pulang lewat sana.”

Ia menoleh. “Kenapa?”

“Nggak tahu. Pingin aja.”

Laki-laki itu mengangguk. Tidak bertanya lagi. Mereka pun berbelok, menyusuri jalan yang lebih sepi, lebih panjang, lebih sunyi.

Hari hampir habis. Matahari seperti orang yang melambai dari kejauhan—ingin pamit, tapi tak sampai hati. Dan perempuan itu, masih menarik waktu dengan benang-benang halus yang tak kasatmata. Ia tahu, mungkin ia tak akan pernah punya keberanian untuk berkata. Tapi bukankah diam pun kadang bisa menjadi ungkapan yang lengkap?

Ia menyukai caranya diam, caranya hadir, caranya membiarkan jarak tak menjadi dinding. Ia menyukai semua tentangnya—dalam cara yang tenang, dalam cara yang tidak meminta. Dan waktu—waktu tidak peduli. Namun, hari itu, ia berhasil. Meskipun sejenak, ia menang. Ia menarik waktu sedikit lebih lama. Ia menunda perpisahan. Ia menipu senja.

Ketika mereka sampai di persimpangan itu, langkah keduanya melambat. Di sana, mereka akan berpisah. Dua arah. Dua rumah. Dua dunia yang tidak pernah benar-benar bersinggungan kecuali pada sore seperti hari ini.

“Thanks ya,” ucapnya.

Perempuan itu mengangguk. “Iya.”

“Besok kayaknya aku nggak bisa nemenin, ada kerjaan ke luar kota.”

Detik berhenti. Tapi hanya dalam hatinya. Dunia tetap berputar.

“Oh… oke. Hati-hati ya.”

Ia tersenyum. “Nanti kabar-kabar, ya.”

Perempuan itu mengangguk lagi. Kali ini tanpa kata. Tenggorokannya penuh dengan kalimat yang tak jadi. Ia melambaikan tangan, lalu berjalan menjauh. Dan seperti itu… habislah waktu. Tapi ia tidak menangis. Ia hanya berdiri lebih lama dari seharusnya. Seolah jika ia tidak berpaling, bayangannya tidak akan benar-benar menghilang.

Hari itu, langit masih tidak tergesa-gesa. Tapi hatinya—tak ada yang lebih cepat dari hati yang tahu sebentar lagi akan rindu. Lalu ia melangkah pulang, dengan langkah yang berat namun mata yang penuh. Ia tahu, esok mungkin berbeda. Tapi hari ini, ia berhasil memperlambat waktu.

Dan itu cukup. Untuk saat ini.

Ia melewati malam dengan mata terbuka, menatap langit-langit kamar yang tidak menjawab apa pun. Kenangannya tidak membantunya tidur. Justru menggiringnya mengulang-ulang momen hari itu seperti memutar lagu favorit dengan lirik yang tak pernah usang. Ia teringat tawa kecilnya. Gerak tangannya yang santai. Cara dia menanggapi semuanya dengan ringan. Betapa kontras dengan berat yang ia simpan sendiri.

Keesokan harinya datang. Tapi laki-laki itu tidak. Tak ada pesan. Tak ada kabar. Perempuan itu menanti, duduk di bangku yang sama, dengan buku yang sama, tanpa halaman yang baru. Ia mulai meragukan dirinya sendiri. Apakah semua itu nyata? Atau ia hanya terlalu ingin, terlalu berharap, terlalu mengisi kekosongan dengan makna yang tak pernah ada?

Hari demi hari, bangku itu kosong. Jalan setapak itu hanya dilalui angin. Tapi ia tetap datang. Karena bukan sosoknya yang membuatnya bertahan, tapi kenangan yang ia beri—yang menempel seperti aroma hujan pertama. Sampai suatu sore, setelah berhari-hari tanpa kabar, sebuah pesan datang:

Maaf baru kabar. Baru balik malam ini. Kamu masih suka duduk di taman itu?

Tangannya gemetar. Tapi ia tidak membalas langsung. Ia menutup layar, menatap langit yang baru saja mulai membara jingga. Ia tersenyum kecil. Tidak terlalu lebar. Tapi cukup. Karena ia tahu, jika pun waktu hanya memberinya sebentar lagi, ia akan tetap memintanya lebih.

Lebih pelan. Lebih lama. Lebih dalam.

Meski tak pernah cukup.

Penulis: Ingke/Hus

Leave a Reply

Your email address will not be published.