Sastra

Jam Tak Berjarum

Ia selalu ingin waktu berjalan pelan saat bersamanya. Seperti detik-detik yang malas bergerak. Seperti angin yang memeluk tanpa terburu. Tapi hari itu, waktu justru terasa membeku bukan karena manis, melainkan karena takut.

Pagi itu, mereka berangkat bersama. Dengan langkah biasa, percakapan seadanya, dan helm yang saling bertukar tangan. Laki-laki itu menatap ke jalan, sementara perempuan itu menatapnya dari belakang dalam diam.

Ia tidak pernah berkata apa-apa. Tapi setiap kali angin menyapu wajahnya, setiap kali tubuh mereka hampir bersentuhan karena tikungan tajam, hatinya terasa penuh. Penuh hal-hal yang tidak bisa diucapkan. Hal-hal yang hanya bisa ia simpan di sela napas.

Sampai di tempat tujuan, laki-laki itu bertemu beberapa teman. Ia tertawa bersama mereka. Obrolan mereka sederhana. Tapi perempuan itu merasa seperti tak tampak di sana. Ia diam. Menyibukkan diri dengan hal lain, seolah baik-baik saja. Padahal, di sudut hatinya, ada sejenis sunyi yang tumbuh. Sunyi yang hanya muncul saat ia merasa tidak dilihat.

Kemudian laki-laki itu menoleh padanya, dan bertanya, “Kamu bawa charger, nggak?”

Perempuan itu menggeleng pelan. “Enggak. Tapi… aku bisa pinjam dari temen.”

“Bener? Makasih ya.”

Ia mengangguk, lalu melangkah pergi. Ia kembali hanya dalam beberapa menit, membawa charger yang ia pinjam. Tapi laki-laki itu sudah tidak ada. Motornya pun tidak lagi terparkir di tempat semula. Dan seperti itu saja, waktu mulai kehilangan bentuk.

Awalnya ia pikir mungkin hanya ke toilet. Atau sebentar ke minimarket. Tapi lima menit menjadi sepuluh. Sepuluh menjadi dua puluh. Dua puluh menjadi satu jam. Satu jam menjadi dua. Tak ada kabar. Tak ada pesan. Tak ada jejak. Ponselnya tak bisa dihubungi.

Perempuan itu mulai panik. Ia berjalan mondar-mandir. Menatap layar ponsel berkali-kali. Mencoba menelpon. Tidak aktif. Ia mulai membayangkan hal-hal buruk. Kecelakaan. Hilang. Dirampok. Terluka. Atau lebih buruk lagi: tidak pernah kembali. Padahal hanya dua jam. Tapi rasanya seperti hari yang tak bergerak. Seperti jam yang kehilangan jarum.

Ia duduk. Berdiri. Duduk lagi. Ponselnya terus ia genggam seolah bisa tiba-tiba berbunyi hanya karena ia menatapnya cukup dalam. Dan di tengah semuanya, ia berpikir, “Biasanya aku ingin waktu berjalan lambat saat bersamanya. Tapi sekarang… aku ingin waktu berlari sekencang mungkin sampai dia kembali.”

Ia hampir menangis. Ia belum pernah sekhawatir ini. Belum pernah menyebut nama seseorang dalam doanya sebanyak itu dalam satu siang. Dan ketika ia hampir menyerah, hampir putus harap… laki-laki itu muncul dari balik gerbang. Dengan langkah ringan. Dengan senyum kecil. Dengan satu kaleng kopi dingin di tangannya.

“Maaf. Aku keluar sebentar. HP-ku mati.”

Perempuan itu hanya bisa menatapnya. Kosong. Rasa lega dan marah bertabrakan begitu saja.

“Kamu ke mana aja?”

“Beli ini,” katanya, menyodorkan kopi kaleng. “Kamu suka yang ini kan? Yang rasa latte.”

Ia tak tahu harus tertawa atau menangis.

Perempuan itu maju selangkah, dan memukul pelan bahu laki-laki itu.

“Bego!” katanya. Tapi bukan karena benci. Justru karena sayang yang terlalu penuh.

Laki-laki itu terdiam.

“Kamu tau nggak aku mikir apa aja tadi? Aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku takut kamu ilang. Aku takut itu terakhir kali aku lihat kamu pagi tadi. Aku telponin berkali-kali. Aku bahkan minta orang nyari kamu.”

“Maaf…”

“Kamu nggak ngerti, ya. Aku lebih rela kamu sama orang lain… daripada harus liat kamu celaka.”

Laki-laki itu menunduk. Menerima kata-kata itu tanpa banyak jawab.

Mereka diam cukup lama. Langit perlahan berubah warna. Jingga turun seperti selimut tenang. Perempuan itu berdiri di samping laki-laki itu. Masih deg-degan. Tapi sedikit demi sedikit, ia bisa bernapas lagi.

Mereka naik motor seperti biasa. Ia di belakang. Ia tidak bicara banyak. Tapi kali ini, ia menatap lebih lama. Membiarkan angin menyapu air matanya yang hampir jatuh. Ia tidak pernah berkata seserius ini. Dan tidak pernah sekhawatir ini.

Saat senja mulai menghilang, mereka masih di jalan. Tidak tahu ke mana perasaan akan dibawa. Tapi untuk malam itu, ia tahu satu hal:

Bahwa rasa takut kehilangan bisa lebih dalam dari rasa ingin memiliki. Dan waktu, meski tak punya jarum, tetap bergerak dengan caranya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.