Karya : Ulil Albab
Glorifikasi perihal kampus sebagai miniatur negara barangkali masih terjadi hingga kini. Kampus beserta kehidupan di dalamnya lebih kurang dapat merepresentasikan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Juga dengan kehidupan mahasiswanya, yang sarat dengan dialektika, retorika, dan pergulatan intelektual.
Tapi sebentar dulu, sebelum menjustifikasi lebih dalam, alangkah baiknya kita amati kembali bagaimana kampus dan mahasiswa bersinergi di alam pendidikan tinggi. Kampus memberikan ruang, khususnya bagi mahasiswa untuk berekspresi dan menjadi kawah candradimuka dalam pembentukan identitasnya.
Dalam hal ini, apakah mahasiswa menjalankan perannya dengan baik? Tergantung, bagaimana konteksnya. Mahasiswa yang notabene menjadi pelajar dan digaungkan menjadi agen perubahan juga memiliki persoalan yang kompleks. Kisah-kisah heroik mahasiswa angkatan terdahulu yang mampu menyokong perubahan sampai dengan menggulingkan rezim, barangkali akan selalu dikenang dan ‘dibebankan’ kepada mahasiswa generasi sekarang.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) sudah lama dilakukan semenjak beberapa dekade silam. Kebijakan tersebut diterapkan awalnya untuk mendomestikasi mahasiswa agar tetap berada atau disibukkan pada habitatnya yaitu kampus. Rezim saat itu merasa kurang nyaman dengan mahasiswa yang masih ‘liar’.
Jika kita lihat kehidupan kampus sekarang ini, apakah termasuk dampak jangka panjang dari kebijakan rezim terdahulu? Mahasiswa sibuk dengan urusan-urusan domestiknya seperti tugas kuliah, artikel, serta tetek-bengek lainnya. Selain itu, orientasi pembelajaran yang terjadi cenderung untuk mencetak dan mempersiapkan tenaga kerja baru yang handal sesuai kebutuhan industri dan kapital.
Mahasiswa yang sudah sibuk dengan kegiatan akademiknya, barangkali enggan atau tidak cukup waktu untuk sekadar merefleksikan diri dan identitasnya sebagai mahasiswa. Kampus yang menjadi miniatur negara dan ruang untuk mengekspresikan diri, kini tidak lebih dari tempat untuk fingerprint dan kantor pelayanan administrasi.
Organisasi mahasiswa maupun gerakan mahasiswa kini bergerak tidak lebih pada tataran konsep dan dialektika. Masih bisa mempertahankan citranya mungkin sudah cukup. Dan juga, tidak menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
Cerita mengenai kesuksesan dan keberhasilan organisasi dan gerakan mahasiswa generasi terdahulu, bisa saja menjadi kurikulum pengantar kepada mahasiswa baru yang akan menghuni kampusnya. Entah itu hanya pengantar belaka, atau direfleksikan dan diimplementasikan dengan konteks sekarang, itu dikembalikan kepada kakak dan adik tingkatnya. Setidaknya kita tidak melupakan sejarah.
Kampus sebagai miniatur negara mengacu pada tata kelola administrasinya baik di tingkat universitas, fakultas, maupun organisasi mahasiswa. Di situ, terdapat jabatan struktural dan tugas yang menyertainya. Di tingkat organisasi mahasiswa, kita ketahui ada jabatan eksekutif, legislatif, dan unit kegiatan lain yang saling menyokong supaya terwujud suatu kestabilan. Juga ada pers mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik dan mungkin menjadi pilar demokrasi dalam miniatur tersebut.
Organisasi maupun lembaga kemahasiswaan yang sudah terbentuk mengikuti sistem kenegaraan bisa menjadi efektif ketika berjalan sesuai tugas, fungsi, dan wewenangnya. Masing-masing dari elemen mahasiswa berjibaku menerapkan esensi dari setiap fungsinya. Bukan sekadar panggung sandiwara apalagi sebagai ajang validasi kehebatan.
Miniatur yang sudah terbentuk, jika mengikuti persis bentuk aslinya maka akan semakin kompleks lagi. Belum kalau kita lihat pada sumber daya manusia dan budaya-budaya yang menyertainya. Barangkali perlu dikaji lagi kampus sebagai miniatur dari negara yang bagaimana. Kalau hanya negara dunia ketiga, mungkin tidak perlu banyak perubahan dan gagasan baru, karena kita juga termasuk dari bagian negara tersebut. Jika sebagai miniatur dari negara maju dan berdikari, perlu banyak pekerjaan rumah yang lekas di bereskan oleh kampus dan para penghuninya.
Dalam hemat saya, kampus dan kehidupannya akan memiliki makna yang subjektif bagi para mahasiswa yang tinggal di dalamnya. Kehidupan kampus tidak melulu soal urusan akademik dan non akademik. Juga bukan soal idealisme dan patriotisme mahasiswa saja. Tapi di situlah masing-masing dari kita melakukan proses dan menentukan jalan ninjanya. Sebelum pada akhirnya menjalani hidup pada kehidupan yang sesungguhnya.