Opini

Pendidikanku sayang, pendidikanku malang

Oleh: Kentri/Hus

Pic: tribunnews.com

Sudah hampir 2 bulan, sejak terakhir kali para siswa di Indonesia melaksanakan upacara hari Senin. Kini, Senin yang menjadi hari pendidikan pun sudah tidak lagi diperingati. Alih-alih karena alasan ramadhan, ketiadaan peringatan hari besar untuk memperingati Tut Wuri Handayani ini hilang akibat seruan untuk tetap berada di rumah, tak terkecuali bagi para siswa. Manut, budayakan manut pada aturan, budayakan taat pada pemerintahan, dan menjaga diri serta lingkungan. Hal ini agaknya cocok menjadi alasan di balik tidak adanya sesuatu yang istimewa yang dapat kami peringati tahun ini.

Pendidikan adalah salah satu jalan menuju terciptanya cita-cita nasional negara Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa pendidikan, bangsa kita bukanlah apa-apa. Kasarnya, sudah ada pendidikan pun tidak berarti apa-apa jika belum dilaksanakan secara maksimal. Mirisnya, segala ketidaksempurnaan dunia pendidikan Indonesia makin diperparah dengan masuknya virus merugikan yang membuat seluruh aktivitas nyaris lumpuh total. Yang semula baik-baik saja, menjadi buruk. Yang semula hancur, makin tidak karuan. Kurang lebih seperti inilah gambaran bangsa kita selama 3 bulan terakhir, tentunya dari kacamata saya selaku mahasiswa yang sangat tidak informatif.

Kritikan warga sipil terhadap sistem pendidikan di Indonesia memang tidak terdengar asing pada hari-hari biasa, apalagi dengan kemunculan fenomena seluruh pelajar dirumahkan. Dapat terbayang bukan sebanyak apa lagi kritikan yang ditunjukkan bagi dunia perilmuan ini. Dari mulai tidak terselenggaranya berbagai kegiatan akhir sekolah, molornya pelaksanaan kuliah, ditiadakannya berbagai kegiatan praktik dan pengabdian, sampai pelaksanaan kelulusan yang tahun ini dilaksanakan secara daring di rumah masing-masing.

Bukan salah pemerintah ataupun menteri pendidikan jika kami menjadi kurang asupan materi. Bukan juga salah dosen ataupun para guru yang sudah menyiapkan metode sedemikian rupanya. Apalagi salah kami selaku pelajar, jelas tugas kami hanya belajar sesuai yang diajarkan dan mencari tahu lebih luah sebagai bahan ajar tambahan. Lalu salah siapa? Presiden Jokowi? Tidak ada untungnya mencari siapa yang salah pada masa-masa kritis seperti ini.

Ketimbang buang-buang waktu menyalahkan orang lain, tidak akan ada yang dirugikan jika kita semua taat pada aturan. Kita yang dimaksud bukan hanya kami sebagai pelajar, bapak ibu pengajar juga sama. Waktunya kuliah, ayo dong kita kuliah. Ada kelas tambahan, yuk kita belajar bareng-bareng. Ada tugas ya kerjakan, jangan banyak alasan. Diskusi online ditingkatkan, jangan hanya egoisme yang meningkat.

            Lalu, nyatanya kebijakan ini lebih banyak merugikan, dan kami sebagai pihak mahasiswa alias pelajar jelas sangat dirugikan, dipikir kuota internet murah?

Nah… ini nih yang jadi masalah, cuan alias duit alias uang adalah hal yang mengandung unsur sensitivitas lebih tinggi ketimbang pertemuan magnet kutub utara dan selatan. Masa pandemi adalah waktu tersulit untuk mencari rejeki. Bagi orang-orang biasa saja seperti saya, bisa makan akan lebih bagus ketimbang bisa beli kuota internet. Makanya, petinggi administratif dunia pendidikan harus mau nih bekerja lebih ekstra untuk transparansi dana. Toh kalau jujur kenapa harus takut. Hehe.

Alokasi dana yang jelas juga tak akan menimbulkan kecurigaan di tubuh para mahasiswa. Kemana larinya uang pendidikan yang kami habiskan sementara kuliah pun ditiadakan adalah alasan kami banyak bicara. Setidaknya, berilah kami beberapa bagian dari uang yang kami bayarkan itu untuk fasilitas kami mencari ilmu. Harga kuota internet hampir sama dengan harga beras, apa kami harus memilih antara menjadi pintar atau menjadi kenyang?

Rasanya, bukan satu dua orang saja yang terkena dampak wabah ini. Dari yang orangtuanya supir angkot sampai pegawai perusahaan robot, semua akan mengalami kesulitan finansial. Sialnya, orang-orang yang dianggap masih punya penghasilan, justru yang paling apes, tidak tersentuh, padahal hak kami pun sama, sama-sama butuh sarana prasarana untuk belajar. Bukan apa-apa, hal kayak gini nih yang bikin banyak omongan negatif diluar sana, cukup virus aja ya yang negatif, semoga pikiran kita tetap suci, amin.

Akhir kata, saya masih berpegang teguh pada anggapan lucu yang saya buat sendiri. Bahwa kecerdasan tanpa pendidikan adalah nol besar. Jika mau jadi bangsa yang cerdas, selain meningkatkan genetiknya lewat pangan, jangan lupa untuk memperbaiki kualitas lingkungan lewat pendidikan. Tidak mudah, perbaikan kecil hasilnya mungkin secuil, tapi dampak jangka panjangnya bisa jadi sangat besar dan berharga. Yuk, jangan saling menyalahkan, jalani dan maksimalkan, semoga tulisan ini bukan hanya dibaca oleh para mahasiswa ya, Pak Rektor mungkin bisa baca juga. Sekian.

Leave a Reply

Your email address will not be published.