Oleh: Nova Karimatun Nabilah
Awalnya aku berpikir bahwa dia adalah seperti teman-teman laki-lakiku pada umumnya. Aku bahkan tak pernah berekspektasi lebih bagaiamana hubungan kami terjalin kedepannya, akankah bertahan lama atau mungkin akan berakhir seperti people come and go.
Sebuah konsep yang aku pegang dalam hidup, yaitu dikotomi kontrol dimana dua hal dalam hidup terbagi menjadi di bawah kendali diri dan di luar kendali diri. Aku merasakan pertumbuhan perasaan yang berbeda ini di dalam diriku dan itu ada di luar kendali.
Dia adalah seseorang yang ku sebut Niscala, dia kokoh berdiri di kakinya sendiri, namun indah dengan caranya sendiri. Dia sosok yang selama ini menemaniku, memberi warna baru dalam hidupku.
Ketika aku terjebak pada situasi baru sendirian, tak tahu siapapun bahkan apapun. Ketika aku mencoba memberanikan diri sendiri untuk terus menjalani hidup dengan kakiku sendiri. Takdir tiba-tiba membawanya padaku untuk menemaniku berjalan bahkan membantuku bangkit ketika terjatuh.
Niscala: “Kamu ga papa kok kalo mau nangis. Kamu juga ga papa kalo kamu harus mengekspresikan perasaanmu sendiri. Itu bukan kesalahan. Kamu ga harus terus terlihat baik-baik saja.”
Aku: “Kenapa? Aku baik-baik saja,” ucapku sambil menampilkan senyum padanya.
Niscala: “Kita sudah menyepakati tentang hal ini bukan?”
Aku: “Hal yang mana?”
Niscala: “Kamu akan menjadi dirimu sendiri ketika bersamaku, begitupun sebaliknya.”
Aku: “Ah yang itu…. Tapi aku sedang baik-baik saja.”
Niscala: “Ah tidak juga, matamu tidak berbicara seperti itu.”
Aku: “Kenapa dengan mataku? Aku bahkan tak menangis.”
Niscala: “Kamu pikir selama ini aku hanya mendengar mulutmu berbicara? Tidak, matamu lebih jujur menjelaskan apa yang kamu rasakan dibanding dengan mulutmu sendiri.”
Aku: “….”
Niscala: “Seberat apa masalahmu kali ini?”
Aku menatap ke arahnya dan dia juga menatap ke arahku. Aku hanya tersenyum lalu segera memutuskan kontak mata dengannya.
Niscala: “Berat ya kalau diceritain?”
Aku: “Nanti kalau aku nangis gimana?”
Niscala: “Ya kenapa? Menangis saja, ada aku di sini.”
Aku kembali menggeleng, memang aku sangat sulit untuk menceritakan sesuatu. Sedari dulu aku selalu memendamnya sendirian, namun sekarang ada dia yang selalu mendengarkan semua keluh kesahku.
Aku: “Dunia kejam ya? Aku terus dihajarnya, tapi aku tak bisa sekuat dirimu.”
Niscala: “Siapa bilang? Kamu bahkan lebih kuat dariku. Kamu ingat bukan dulu kamu pernah menghadapi masalah yang mungkin lebih tinggi dari ini tapi sekarang kamu ada di sini. Artinya kamu juga bisa melewatinya kali ini.”
Aku: “Aku udah ngga kuat, aku pengen nyerah aja gimana?”
Niscala: “Berhenti. Kamu ngga dilarang kok kalau mau berhenti dulu, istirahat. Kamu boleh lakuin apapun yang kamu mau untuk mengisi ulang dayamu lagi. Kalau udah, kamu bangkit lagi, lanjutin perjalanan kamu lagi.”
Niscala: “Aku mungkin ga bisa bantu masalahmu, tapi aku yakin kamu selalu punya solusi dari masalahmu sendiri dan aku siap menjadi pendengar setiamu. Setiap kata, setiap kalimat, paragraf, aku siap mendengarnya.”
Air mataku menetes bersamaan dengan rintik hujan yang turun membasahi kami yang sedang duduk di sebuah bangku taman.
Merasakan hujan yang turun, membuat hatiku menjadi bahagia seketika hingga melupakan dia yang masih duduk dan belum berteduh.
Aku: “Astaga, ayo cepat berteduh. Kenapa di sini saja?” ucapku sambil menarik tangannya agar segera bangkit untuk berteduh.
Niscala: “Satu lagi. Aku mungkin ga bisa ngasih payung ke kamu pas hujan, tapi aku mau hujan-hujanan bareng kamu.”
Aku cukup terkejut mendengarnya mengatakan hal itu, namun aku melihat sebuah kesungguhan di matanya.
Niscala: “Awas nanti kamu sakit, kamu siap jadi dokterku kan kalau aku sakit?”
Aku langsung mencubit pinggangnya dengan cukup keras, membuatnya mengadu kesakitan dan ingin membalas perbuatanku.
Kami berakhir berlari-larian di tengah hujan tanpa tujuan, tanpa beban, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi besok, kami benar-benar menikmati hari ini dan saat ini.
Bersama hujan sore ini, semoga kenangan indah yang terukir akan kokoh dan abadi bersama Niscala.