Sastra

JANJIKU PUKUL SATU

Karya : Rika Yudha/Hus

Terik matahari pukul 12 siang tepat mengenai wajahnya yang menengadah menatap langit. Bulatan kapas yang mengambang di langit membuat isi pikirannya melalang buana. Kini wajahnya seakan kertas putih kosong yang siap digores tinta hitam.

Klakson motor memekakkan telinga membuat fokusnya teralih. Riuh rendah obrolan dari sudut perpustakaan serta deru motor di luar membuatnya seakan terlempar kembali pada dunia nyata setelah berada pada caur marut isi kepalanya. Tangannya terangkat, mengambil secangkir teh yang sudah dingin. Dibawanya cangkir putih berada pada dua belah bibir berwarna merah bata, menenggaknya sampai habis. Ia menyesap sejenak sisa air di ujung bibir, mengelapnya dengan asal.

Tangan si gadis merapikan sejenak kaos hitamnya, mengambil buku tebal bersampul biru untuk dibawanya pulang kembali. Janji pukul 1 siang nanti akan ia tepati tanpa terlambat seperti janji sebelumnya.

Terlihat gerbang sekolah memuntahkan bubarnya para manusia berseragam putih biru. Matanya merekam detail, hingga tanpa sadar langit sudah berganti layar berwarna oranye. Matahari perlahan merangkak pergi berganti tugas menerangi bagian lain dari sisi bumi.

Tangannya yang masih menggenggam buku tebal tersentak. Buku-buku jarinya memutih, merasa ada yang salah dan terlupakan.

Tunggu, bukankah janji pukul 1 siang tadi harus ia tepati? Kenapa lagi-lagi ia merasakan seakan terjebak dalam rotasi waktu yang sama?

“Kamu sudah mati tiga bulan yang lalu. Mayatmu ditemukan di sudut perpusatakaan tergeletak bersama dengan novel birumu itu.”

Aku menoleh cepat mendengar suara berat tepat di sebelah telingaku. Laki-laki setengah baya dengan seragam lengkap menatap lurus ke depan tanpa seinci pun melirik ke arahku.

“Sudahlah, ini yang terakhir kali. Aku sudah lelah terus mengatakan kalimat yang sama berulang kali setiap pukul 6 sore. Pergilah dengan tenang.”

Lelaki paruh baya itu lantas melenggang pergi dengan wajah datarnya. Garis wajahnya terlihat kesal sekaligus takut.

Aku bergeming, menatap novel biru digenggaman tanganku.

Apa yang salah dengan menunggu keadilan atas kematianku?

Leave a Reply

Your email address will not be published.