Opini

International Women’s Day : Hentikan Budaya Patriarki

mediahusbandry.com-Setiap tanggal 8 Maret para perempuan dan laki-laki di seluruh belahan dunia merayakan International Women’s Day (IWD). Pada momen ini, IWD memiliki makna sebagai ajakan untuk melawan ketidaksetaraan, bias, dan stereotip terhadap kaum perempuan. Karena pada dasarnya ketika normalisasi penindasan terhadap perempuan terus dibudayakan akan menimbulkan ruang yang tidak aman bagi perempuan.

Pada laman internationalwomensday.com, IWD tahun 2022 mengangkat sebuah tema yakni “Break The Bias“. Perilaku bias gender lahir dari ketidakadilan gender. Hal ini dikarenakan sebuah sistem dan strata sosial yang menempatkan laki-laki/perempuan di posisi yang merugikan. Jadi, bias gender ini dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan.

Subordinasi sebagai Bentuk Ketidakadilan Perempuan

Women Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang terbentuk dalam masyarakat dengan upaya membuat pembedaan baik dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan. Subordinasi termasuk salah satu jenis dari ketidakadilan gender. Subordinasi sendiri dapat terjadi dimana saja, salah satunya di lingkungan kampus. Hal ini dikarenakan pemahaman budaya patriarki yang terus dipupuk.

Subordinasi merupakan suatu anggapan peran yang dilakukan berdasarkan kedudukan satu jenis kelamin yang lebih tinggi maupun rendah. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Women Studies Encyclopedia, bahwa subordinasi dilihat dari status gender. Berkembangnya budaya di masyarakat adalah budaya patriarki yang memilah peran antara laki-laki dan perempuan.

Patriarki adalah akar atas segala bentuk ketidakadilan gender, dimana laki-laki ditempatkan pada hierarki tertinggi. Lalu, pernahkah kalian mendengar anggapan bahwa perempuan lebih cocok berurusan dengan domestik, sedangkan laki-laki bekerja untuk urusan publik/produksi? Dari hal tersebut terlihat sekali bahwa terdapat ketimpangan pada salah satu pihak. Lantas pihak mana yang dirugikan? tentu saja perempuan, karena masyarakat tidak menginginkan peran perempuan setara atau bahkan melebihi laki-laki.

Pic : kompas.com

Mengenal Subordinasi Perempuan di Lingkungan Kampus

Secara nyata, subordinasi perempuan dapat terjadi di kampus yakni dalam kegiatan organisasi. Bukti nyatanya ada di dalam sebuah organisasi, hal ini terlihat dari jabatan sekretaris dan bendahara yang lebih dominan diisi oleh perempuan, sedangkan untuk ketua lebih didominasi oleh laki-laki. Subordinasi didukung oleh stereotip yang sudah membudaya, dimana perempuan diidentikkan dengan ketelatenan sedangkan laki-laki diidentikkan dengan rasional. Padahal stereotip tersebut salah, apabila memposisikan laki-laki lebih tinggi terus diproduksi, maka akan menyebabkan keterbatasan ruang perempuan untuk memberdayakan diri. Hingga akhirnya, peran laki-laki akan eksistensinya akan terus mengudara.

Padahal kalau berbicara kompetensi perempuan pun tidak akan kalah dari laki-laki. Bahkan mereka (red: perempuan) bisa bersaing dengan laki-laki di urusan publik/produksi. Lalu apabila berbicara kompetensi, kita bisa mengambil contoh seperti Raden Ajeng Kartini yang namanya harum karena keinginannya untuk memberdayakan perempuan lewat pemikiran dan tulisan.

Peran Nyata Perempuan dan Laki-laki untuk Mengurangi Subordinasi Dinamika Kehidupan Kampus

Menciptakan ruang yang setara untuk perempuan di lingkungan kampus tidak semudah yang diangankan. Di sini ada peranan yang harus dilakukan oleh perempuan, laki-laki, dan masyarakat. Perempuan harus mau memiliki keinginan untuk berkompetensi secara gagasan, sehingga pemberdayaan perempuan terus diproduksi. Lalu, laki-laki dan masyarakat harus memberi ruang untuk perempuan tanpa harus terkotak-kotakkan oleh budaya patriarki.

Penulis : Oliv/Hus

Editor : Dedi/Hus

Leave a Reply

Your email address will not be published.