Opini

Gaungkan Terus Kebenaran!

oleh: Abhi/Hus

Pict: Abhi/Hus

Tanggal 9 februari merupakan peringatan Hari Pers Nasional yang bersama dengan hari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pengaruh pers di Indonesia sangat vital mengingat perannya sebagai senjata yang lebih tajam dari bambu runcing dan laras panjang, yaitu sebagai pemersatu bangsa melalui media pada masa dahulu. Namun bagaimana pers pada masa kini? Apakah sebagai alat pemersatu bangsa atau malah menjadi ranjau bagi pemerintah?

Sebelum lebih dalam, mari kita buka UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers pasal 1  ayat 1 yang berbunyi “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Berbicara tentang undang-undang, UUD Tahun 1945 pasal 28F sudah mengatur kebebasan berpendapat, yang maknanya mirip dengan pasal di atas. Kendati demikian aneka permasalahan pers masih banyak terjadi, mulai dari pelanggaran kode etik jurnalistik, penyebaran hoax, ujaran kebencian seperti yang terjadi pada pemilu tahun 2019, hingga kekerasan terhadap wartawan dengan bentuk yang bermacam.

Penggunaan media sosial dewasa ini sebagai tempat untuk mementingkan kepentingan pribadi dan menyebarkan hoax. Contohnya aplikasi WhatsApp digunakan sebagai lahan debat untuk saling senggol mendukung jagoannya, pun sebagai wadah mengungkap kebencian terhadap pemerintah atau golongan tertentu. Hanya karena berbeda pendapat, tali silaturahim dapat putus, Please deh…

Globalisasi membuat informasi masuk begitu cepat hanya dengan menekan layar smartphone, akibatnya masyarakat menganggap informasi tersebut benar tanpa check and recheck. Perlunya kedewasaan mengolah informasi menjadi kunci untuk menyikapi persoalan hoax. Tidak cepat percaya dan menelisik dahulu informasi yang didapat menjadi suatu kewajiban pada masa kini. Apalagi banyak sumber yang keabsahannya patut dipertanyakan. Di lingkungan saya sendiri masih banyak kawan yang bersumbu pendek dan perlu adanya pemahaman untuk menyikapi bagaimana informasi dengan kepala dingin. Minimal dibaca sampai tuntas dahulu, kemudian baru diolah.

Demo Omnibus Law, Oktober 2020

Kekerasan terhadap pers masih bejibun alias banyak. Dilansir dari Tempo.co, kerap terjadi kekerasan terhadap kawan-kawan Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), diantaranya berupa intimidasi (25 kasus), kekerasan fisik (17 kasus), perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (15 kasus), dan ancaman atau teror sebanyak 8 kasus. Tak hanya itu, banyak kawan-kawan dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ditangkap dan dirampas rekamannya. Contohnya ketika demo Omnibus Law kemarin. Bahkan ada yang sampai dipaksa menginap di kantor polisi selama satu hari atau lebih untuk diinterogasi.

Padahal kebebasan pers sudah diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 dengan sangat jelas, tapi mengapa masih ada perilaku represif terhadap wartawan? Mungkinkah wartawan sudah tidak boleh meliput lagi? Jika kontrol sosial sudah tidak ada, yakin negara Indonesia tercinta akan baik-baik saja? Dan kita hanya nurut-nurut saja dengan keputusan pemerintah dan koleganya?

Semoga di hari peringatan Pers Nasional tahun ini, kebebasan dan jaminan untuk insan pers terlaksana dengan baik dan benar menurut payung hukumnya. Tanpa adanya kepentingan dari pers sendiri, tanpa adanya tindakan kekerasan terhadap pers, dan transparansi informasi untuk disampaikan ke khalayak umum lebih terang lagi, saya yakin masyarakat akan menilai kinerja pemerintah dengan baik dan benar pula. Pun negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjamin kebebasan insannya yang dijelaskan dalam UUD Tahun 1945 pasal 28. Jika masih tidak terlaksana pula, lalu salahkan siapa?

Leave a Reply

Your email address will not be published.