Oleh : Ahmad Pradhana Adiputra, Biologi 16

Di Unsoed, PKKMB atau masuk organisasi apapun menjadi ajang “unjuk gigi” para mahasiswa baru. Euforia adalah kata yang cocok menggambarkan fenomena ini. Alasan menggunakan euforia untuk menggambarkan fenomena ini karena tidak semua siswa mendapatkan kesempatan untuk “unjuk gigi” di sekolah menengahnya kemarin, maka mereka baru mengeluarkan berahi eksistensinya di acara pengenalan kampus ini. Layaknya euforia lain yang merupakan sebuah kehebohan tren tertentu, maka euforia maba juga bersifat sementara. Menurut sudut pandang saya, euforia ini selalu menggunakan embel-embel “solidaritas” atau “kompak”.
Kompak begitu menyihir orang-orang yang baru menambahkan siswanya menjadi mahasiswa. Kuliah saja belum dimulai, tetapi segerombol individu dalam populasi sudah membentuk kadernya masing-masing (re: teman main). Ada sebuah fenomena kepandiran yang terstruktur dari tahun ke tahun, mungkin kawan-kawan sering mendengar dengungan (re: bualan) yang intinya adalah menyerukan bahwa, misal, “Angkatan 2016 harus kompak karena kita adalah keluarga”, mereka berbondong-bondong ke suatu titik bernama kompak. ‘Dialah’ kompak yang menjadi indikator penting keberhasilan dan standar baku suatu kelompok, serta parameter berahi eksistensi kelompok. Malahan tidak jarang timbul fragmentasi dalam angkatan yang bermetamorfosis menjadi kelompok-kelompok dengan output bersaing, perihal eksistensi dalam menggunakan kata kompak, dan sialnya tidak jarang pula timbul menjadi sebuah arogansi tanpa substansi suatu kelompok.
Semboyan fana berbunyi “solidaritas tanpa batas” adalah titik tertinggi kekhawatiran saya dalam ihwal kekompakkan yang dimaknai buta. Pemaknaan buta tersebut dapat berujung pada matinya kebebasan berpendapat setiap individu, khususnya bagi kalangan minoritas. Efek domino yang dapat ditimbulkan yaitu munculnya mentalitas berkelompok (mob mentality). Reaksi berantainya pun bisa beraneka ragam. Contoh sederhananya adalah aksi-aksi tawuran di kalangan pelajar di kota-kota besar seperti Jakarta. Loyalitas berlebihan tanpa kesadaran pun akhirnya menimbulkan kericuhan. Senggolan sedikit dari kelompok lain dapat menimbulkan keributan. Inikah negara bersemboyan Unity in Diversity?
Kekompakkan bukan hal yang dapat dipercepat begitu saja, namun, layaknya makhluk hidup yang butuh adaptasi hingga dia menjadi posisi eksponensialnya dalam tumbuh dan berkembang. Solidaritas atau kekompakkan pun juga. Kekompokkan ada bukan untuk dibanggakan sebagai arogansi suatu kelompok. Tetapi untuk dirasakan. Tak perlu dipaksakan, tetapi kehadiran perlu untuk ada, agar kompak bisa datang. Kekompakkan bukan media untuk mempolarisasi mahasiswa, tetapi memiliki tujuan mulia dalam membentuk suatu kesatuan dalam melawan penindasan dan komersialisasi pendidikan yang semakin mencekik.