mediahusbandry.com- memasuki awal semester baru, mahasiswa fapet diharuskan mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) untuk mengambil mata kuliah yang akan dijalaninya satu semester kedepan. Dalam pengisian KRS tersebut memungkinkan mahasiswa untuk dapat mengambil mata kuliah wajib atau mata kuliah pilihan sesuai bidang yang diminati. Akan tetapi, setiap mata kuliah kuotanya dibatasi per kelasnya, sehingga mahasiswa harus berlomba-lomba dengan mahasiswa lain untuk mengambil mata kuliah yang dia inginkan.
Fenomena tersebut dijadikan sebuah peluang usaha oleh oknum yang tidak bertanggungjawab untuk menjual kuota mata kuliah, terutama mata kuliah pilihan yang peminatnya cukup tinggi. Para oknum memulai aksinya dengan memilih sebuah mata kuliah pada saat pengisian KRS, namun sebenarnya mereka tidak mengambil mata kuliah tersebut melainkan untuk dijual kepada mahasiswa yang membutuhkan dengan kisaran harga Rp. 20.000-100.000 baik melalui postingan di Whatsapp maupun dari mulut ke mulut.

Salah seorang mahasiswa, sebut saja “Mr. X” membeli satu kuota mata kuliah pilihan karena terisi penuh pada saat pengisian KRS “Saya mengambil mata kuliah tersebut karena saran dari kakak tingkat, jadi rasa rasanya bakal rugi kalau saya nggak ambil matkul yg udah disaranin dari kakak tingkat” jelas Mr. X. Ia juga mengatakan bahwa oknum yang berusaha menjual kuota mata kuliah tidak hanya satu orang, namun ia tidak bisa memastikan berapa orang yang menjadi korban dari jual beli tersebut.
Menanggapi hal tersebut Novie Andri Setianto, S. Pt, M. Sc, Ph. D., IPU selaku Wakil Dekan Bidang Akademik angkat bicara. Ia menegaskan bahwa ada sanksi bagi mahasiswa yang menjual mata kuliah kepada mahasiswa lain, baik dalam bentuk teguran atau bahkan bisa drop out (DO) dari kampus. “Untuk teman-teman mahasiswa baru yang baru pertama memilih mata kuliah pilihan, jangan sekali-kali beli dari manapun. Itu seperti memberikan keju kepada tikus” ucap Pak Novie.
Dengan adanya fenomena jual beli mata kuliah ini, pihak birokrat mengambil keputusan bahwa nilai kuliah yang dimasukkan ke dalam Sistem Informasi Akademik (SIA) bagi mahasiswa yang mengulang adalah nilai terakhir bukan nilai yang tertinggi lagi. Hal tersebut diharapkan mampu menghentikan tradisi jual beli mata kuliah di fapet. Menanggapi hal tersebut, Muhammad Rifqi seorang mahasiswa angkatan 2020 merasa bahwa solusi yang diberikan masih belum cukup untuk mengatasi permasalahan jual beli mata kuliah “Menurut saya solusi tersebut tidak akan merubah fenomena (jual beli mata kuliah) yang terjadi saat ini, karena pelaku masih bisa menghapus pilihan mata kuliah tanpa harus mengambilnya” ungkap Rifqi.
Pak Novie juga menjelaskan bahwa perubahan KRS bisa dilakukan sampai minggu ke-2 setelah masuk kuliah. Ia menghimbau kepada seluruh mahasiswa untuk tidak membeli mata kuliah karena para oknum pasti akan melepas mata kuliah tersebut pada saat mendekati tenggat waktu. “Ketika nanti terakhir pembatalan kan ada periode perubahan KRS nah disitulah, apakah masih bisa nambah kuota di situ akan kami evaluasi” jelasnya. Ia juga menghimbau kepada mahasiswa yang menjadi korban atau siapapun yang menemukan adanya praktik jual beli mata kuliah baik oleh mahasiswa maupun dosen, jangan takut untuk melapor dan akan dijamin keamanan identitasnya.
Editor : Khasan/Hus
Reporter : Elang/Hus, Ilham/Hus
Narasi : Afif/Hus